Minggu, 21 Desember 2014

proses pembebanan dan penghapusan jaminan fidusia



oleh :hamzah aenurofiq

Fidusiaadalahpengalihanhakkepemilikansuatubendaatasdasarkepercayaandenganketentuanbahwabenda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Berikutadalahpenjelasanseputar proses pembebananfidusiadanbagaimanajaminanfidusiadapatdihapuskan. DalamPasal 1 ayat (1) Undang-undangNomor 42 Tahun 1999 TentangJaminanFidusia, disebutkanbahwafidusiaadalahpengalihanhakkepemilikansuatubendaatasdasarkepercayaandenganketentuanbahwabenda yang hakkepemilikannyadialihkantersebuttetapdalampenguasaanpemilikbenda. SedangkanjaminanfidusiasebagaimanadisebutkandalamPasal 1 ayat (2) adalahhakjaminanatasbendabergerakbaik yang berwujudmaupun yang tidakberwujuddanbendatidakbergerakkhususnyabangunan yang tidakdapatdibebanihaktanggungansebagaimanadimaksuddalamUndang-undangNomor 4 Tahun 1996 tentangHakTanggungan yang tetapberadadalampenguasaanPemberiFidusia, sebagaiagunanbagipelunasanutangtertentu, yang memberikankedudukan yang diutamakankepadaPenerimaFidusiaterhadapkreditorlainnya. Terkaitdenganketentuan di atas, makaberikutpenjelasanmengenai proses pembebananfidusiasertahal-hal yang menyebabkanhapusnyajaminanfidusia, danberikutpenjelasannya:
Proses atautahapanpembebananfidusiaadalahsebagaiberikut:
ü  Proses pertama, denganmembuatperjanjianpokokberupaperjanjiankredit;
ü  Proses kedua, pembebananbendadenganjaminanfidusia yang ditandaidenganpembuatanAktaJaminanFidusia (AJF), yang didalamnyamemuathari, tanggal, waktupembuatan, identitasparapihak, data perjanjianpokokfidusia, uraianobjekfidusia, nilaipenjaminansertanilaiobjekjaminanfidusia;
ü  Proses ketiga, adalahpendaftaran AJF di kantorpendaftaranfidusia, yang kemudianakanditerbitkanSertifikatJaminanFidusiakepadakreditursebagaipenerimafidusia;
AdapunJaminanfidusiahapusdisebabkanhal-halsebagaiberikut:
ü  Karenahapusnyautang yang dijamindenganfidusia;
ü  Karenapelepasanhakatasjaminanfidusiaolehpenerimafidusia;
ü  Karenamusnahnyabenda yang menjadiobjekjaminanfidusia.
Terkaitpenjelasantersebut di atasdalamUndang-undangNomor 42 Tahun 1999 tentangfidusiadisebutkan pula, bahwaundang-undanginimenganutlaranganmilikbeding, yang berartisetiapjanji yang memberikankewenangankepadapenerimafidusiauntukmemilikibenda yang menjadiobjekjaminanfidusiaapabiladebiturciderajanji, adalahbatal demi hukum. [1]
   Hapusnya Jaminan Fidusia
Hapusnya jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 UUJF, yakni jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a.       hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
b.      pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh debitor, dan
c.       musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.[2]

Pengertian Eksekusi
Eksekusi dalam bahasa Inggris disebut executie atau uitvoering dalam bahasa Belandanya, sedangkan dalam kamus hukum berarti pelaksanaan putusan pengadilan.
Lebih lanjut Subekti memberikan definisi tentang eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan umum (polisi, militer) guna memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan.[3][1]
2.        Tindakan Eksekutorial Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia dikatakan bahwa debitur dan kreditur dalam perjanjian jaminan fidusia berkewajiban untuk memenuhi prestasi (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999). Secara a contrario dapat dikatakan bahwa apabila debitur atau kreditur tidak memenuhi kewajiban melakukan prestasi, salah satu pihak dikatakan wanprestasi. Fokus perhatian dalam masalah jaminan fidusia adalah wanprestasi dari debitur pemberi fidusia. Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menggunakan kata wanprestasi melainkan cedera janji.
Tindakan eksekutorial atau lebih dikenal dengan eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan. Menurut Pasal 195 HIR pengertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa piutang kreditur menindih pada seluruh harta debitur tanpa kecuali. [4][2]
Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur di dalam pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Berikut bunyi pasal-pasal dimaksud:
Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
1)        Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara
a.      pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
b.      penjualan benda yangrnenjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c.       penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
2)        Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan Penerima Fidusia kepada pihak-pibak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Asas perjanjian “pacta sun servanda” terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi sendiri. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.[5][3]
Rasio yuridis penjualan jaminan fidusia secara di bawah tangan adalah untuk memperoleh biaya tertinggi dan menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perlu kesepakatan antara debitur dengan kreditur tentang cara menjual benda jaminan fidusia. Misalnya, apakah yang mencari pembeli adalah debitur atau kreditur. Uang hasil penjualan diserahkan kepada kreditor untuk diperhitungkan dengan hutang debitur. Kalau ada sisanya, uang tersebut dikembalikan kepada debitor pemberi fudusia, tetapi jika tidak mencukupi untuk melunasi hutang, debitur tetap bertanggung jawab untuk melunasinya.[6][4]
Pasal 30 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.
Penjelasan :
Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
Pasal 31 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Dalam hal Benda yang menjadi objek Jamiman Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannyadapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum.
Pasal 33 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.
Pasal 34 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
(1) Dalam hal basil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.
(2) Apabila basil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
3.        Cara Eksekusi Jaminan Fidusia
Dari pengaturan pasal-pasal di atas, maka dapat diiihat bahwa eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilakukan melalui cara-cara, antara lain :
A.      Eksekusi langsung dengan titel eksekutorial yang berarti sama kekuatannya dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Eksekusi ini dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jarninan Fidusia karena menurut pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sertifikat Jaminan Fidusia menggunakan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti kekuatannya sama dengan kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Irah-irah ini memberikan titel eksekutorial dan berarti akta tersebut tinggal dieksekusi tanpa harus melalui suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang dimaksud dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR.
B.       Pelelangan Umum atau Parate eksekusi
Eksekusi fidusia juga dapat dilakukan dengan jalan mengeksekusinya, oleh penerima fidusia lewat lembaga pelelangan umum (kantor lelang), di  mana hasil pelelangan tersebut diambil untuk inelunasi pembayaran tagihan penerima fidusia. Parate eksekusi lewat pelelangan urnum ini dapat dilakukan tanpa melibatkan pengadilan sebagaimana diatur pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
C.       Penjualan di bawah tangan.
Eksekusi fidusia juga dapat dilakukan melalui penjualan di bawah tangan asalkan terpenuhi syarat-syarat untuk itu. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1.             Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima fidusia.
2.             Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
3.             Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
4.             Diumumkan dalam sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah tersebut.
5.             Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis.
D.      Eksekusi terhadap barang perdagangan dan efek yang dapat diperdagangkan.
Eksekusi terhadap barang tersebut dapat dilakukan dengan cara penjualan di pasar atau bursa sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk pasar dan bursa tersebut sesuai dengan maksud pasal 31 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
E.       Eksekusi lewat gugatan biasa
Meskipun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke pengadilan, tetapi tentunya pihak kreditor dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dengan model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada indikasi sedikit pun dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang.[7]
Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain itu, untuk pembebanan jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Mengutip tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H. dalam artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan, saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam UUJF.

2.      Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1] UUJF) terhadap kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan.

Masih menurut Grace P. Nugroho, dalam praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.

Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa:

Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.

Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.” 

3.      Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.

Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata). Lebih jauh, simak Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Dengan kata lain, ahli waris dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak dilunasi.[8]
Eksekusi yang dilakukan melalui Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011

Apa tujuan di terbitkannya Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011?
Tujuannya untuk menyelenggarakan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia secara aman, tertib, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan; melindungi keselamatan Penerima Jaminan Fidusia, Pemberi Jaminan Fidusia, dan/ atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/ atau keselamatan jiwa.

Meliputi apa sajakah objek pengamanan jaminan fidusia?
Meliputi benda bergerak yang berwujud, benda bergerak yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.

Apa saja persyaratan untuk dapat dilaksanakannya eksekusi terhadap objek jaminan fidusia?
Dalam Peraturan Kapolri tersebut, untuk melaksanakan eksekusi atas jaminan fidusia dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
(1) ada permintaan dari pemohon;
(2) objek tersebut memiliki akta jaminan fidusia;
(3) objek jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;
(4) objek jaminan fidusia memiliki setifikat jaminan fidusia;
(5) jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.

Bagaimana mengajukan permohonan pengamanan eksekusi?
Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum dalam pasal 7 Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011, dimana permohonan pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia.

Apa saja yang harus dilampirkan dalam mengajukan permohonan pengamanan eksekusi?
Untuk pengajuan permohonan eksekusi, pihak pemohon eksekusi harus melampirkan
(1) Salinan akta jaminan fidusia;
(2) Salinan sertifikat jaminan fidusia;
(3) Surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya, dalam hal ini telah diberikan pada Debitor sebanyak 2 kali dibuktikan dengan tanda terima;
(4) Identitas pelaksana eksekusi;
(5) Surat tugas pelaksanaan eksekusi.[9]



[1]http://pengacaradisemarang.blogspot.com/2012/11/proses-pembebanan-dan-penghapusan.html
[2] http://dhyladhil.blogspot.com/2011/05/larangan-hapusnya-jaminan-fidusia.html


 

[7] http://melissamanis.blogspot.com/2011/11/eksekusi-obyek-jaminan-fidusia.html
[8] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4588/akibat-hukum-jaminan-fidusia-yang-belum-didaftarkan
[9] http://irmadevita.com/2013/eksekusi-jaminan-fidusia-berdasarkan-peraturan-kapolri-no-8-tahun-2011/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar