oleh :hamzah aenurofiq
Fidusiaadalahpengalihanhakkepemilikansuatubendaatasdasarkepercayaandenganketentuanbahwabenda
yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Berikutadalahpenjelasanseputar proses
pembebananfidusiadanbagaimanajaminanfidusiadapatdihapuskan. DalamPasal 1 ayat
(1) Undang-undangNomor 42 Tahun 1999 TentangJaminanFidusia,
disebutkanbahwafidusiaadalahpengalihanhakkepemilikansuatubendaatasdasarkepercayaandenganketentuanbahwabenda
yang hakkepemilikannyadialihkantersebuttetapdalampenguasaanpemilikbenda.
SedangkanjaminanfidusiasebagaimanadisebutkandalamPasal 1 ayat (2)
adalahhakjaminanatasbendabergerakbaik yang berwujudmaupun yang
tidakberwujuddanbendatidakbergerakkhususnyabangunan yang
tidakdapatdibebanihaktanggungansebagaimanadimaksuddalamUndang-undangNomor 4
Tahun 1996 tentangHakTanggungan yang tetapberadadalampenguasaanPemberiFidusia,
sebagaiagunanbagipelunasanutangtertentu, yang memberikankedudukan yang
diutamakankepadaPenerimaFidusiaterhadapkreditorlainnya. Terkaitdenganketentuan
di atas, makaberikutpenjelasanmengenai proses pembebananfidusiasertahal-hal
yang menyebabkanhapusnyajaminanfidusia, danberikutpenjelasannya:
Proses
atautahapanpembebananfidusiaadalahsebagaiberikut:
ü
Proses
pertama, denganmembuatperjanjianpokokberupaperjanjiankredit;
ü
Proses
kedua, pembebananbendadenganjaminanfidusia yang
ditandaidenganpembuatanAktaJaminanFidusia (AJF), yang didalamnyamemuathari,
tanggal, waktupembuatan, identitasparapihak, data perjanjianpokokfidusia,
uraianobjekfidusia, nilaipenjaminansertanilaiobjekjaminanfidusia;
ü
Proses
ketiga, adalahpendaftaran AJF di kantorpendaftaranfidusia, yang
kemudianakanditerbitkanSertifikatJaminanFidusiakepadakreditursebagaipenerimafidusia;
AdapunJaminanfidusiahapusdisebabkanhal-halsebagaiberikut:
ü Karenahapusnyautang yang dijamindenganfidusia;
ü Karenapelepasanhakatasjaminanfidusiaolehpenerimafidusia;
ü
Karenamusnahnyabenda
yang menjadiobjekjaminanfidusia.
Terkaitpenjelasantersebut di
atasdalamUndang-undangNomor 42 Tahun 1999 tentangfidusiadisebutkan pula,
bahwaundang-undanginimenganutlaranganmilikbeding, yang berartisetiapjanji yang
memberikankewenangankepadapenerimafidusiauntukmemilikibenda yang
menjadiobjekjaminanfidusiaapabiladebiturciderajanji, adalahbatal demi
hukum. [1]
Hapusnya Jaminan Fidusia
Hapusnya jaminan fidusia diatur
dalam Pasal 25 UUJF, yakni jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai
berikut:
a.
hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
b.
pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh debitor, dan
Pengertian Eksekusi
Eksekusi dalam bahasa Inggris
disebut executie atau uitvoering dalam bahasa Belandanya, sedangkan dalam kamus
hukum berarti pelaksanaan putusan pengadilan.
Lebih lanjut Subekti memberikan
definisi tentang eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam
putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan umum
(polisi, militer) guna memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi
putusan.[3][1]
2.
Tindakan Eksekutorial Menurut
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Dalam Undang-Undang Jaminan
Fidusia dikatakan bahwa debitur dan kreditur dalam perjanjian jaminan fidusia
berkewajiban untuk memenuhi prestasi (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999). Secara a contrario dapat
dikatakan bahwa apabila debitur atau kreditur tidak memenuhi kewajiban
melakukan prestasi, salah satu pihak dikatakan wanprestasi. Fokus perhatian
dalam masalah jaminan fidusia adalah wanprestasi dari debitur pemberi fidusia.
Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menggunakan kata wanprestasi melainkan
cedera janji.
Tindakan eksekutorial atau lebih
dikenal dengan eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau
menjalankan keputusan pengadilan. Menurut Pasal 195 HIR pengertian eksekusi
adalah menjalankan putusan hakim oleh pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa
piutang kreditur menindih pada seluruh harta debitur tanpa kecuali. [4][2]
Pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia diatur di dalam pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Berikut bunyi pasal-pasal
dimaksud:
Pasal 29
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
1)
Apabila debitor atau Pemberi
Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia dapat dilakukan dengan cara
a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
b. penjualan benda yangrnenjadi objek Jaminan Fidusia
atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c.
penjualan di bawah tangan yang
dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara
demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
2)
Pelaksanaan penjualan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan
sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan Penerima Fidusia kepada
pihak-pibak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat
kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
Asas perjanjian “pacta sun servanda” terhadap perjanjian
yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan
eksekusi sendiri. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan
gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal
hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil
agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.[5][3]
Rasio yuridis penjualan jaminan
fidusia secara di bawah tangan adalah untuk memperoleh biaya tertinggi dan
menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perlu kesepakatan antara
debitur dengan kreditur tentang cara menjual benda jaminan fidusia. Misalnya,
apakah yang mencari pembeli adalah debitur atau kreditur. Uang hasil penjualan
diserahkan kepada kreditor untuk diperhitungkan dengan hutang debitur. Kalau
ada sisanya, uang tersebut dikembalikan kepada debitor pemberi fudusia, tetapi
jika tidak mencukupi untuk melunasi hutang, debitur tetap bertanggung jawab
untuk melunasinya.[6][4]
Pasal 30
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Pemberi Fidusia
wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan
eksekusi Jaminan Fidusia.
Penjelasan :
Dalam hal Pemberi Fidusia tidak
menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi
dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
Pasal 31
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Dalam hal Benda
yang menjadi objek Jamiman Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek
yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannyadapat dilakukan di
tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Setiap janji
untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 dan Pasal 31, batal demi hukum.
Pasal 33
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
Setiap janji
yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.
Pasal 34
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia :
(1) Dalam hal
basil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan
kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.
(2) Apabila
basil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur tetap bertanggung
jawab atas utang yang belum terbayar.
3.
Cara Eksekusi Jaminan Fidusia
Dari pengaturan pasal-pasal di
atas, maka dapat diiihat bahwa eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilakukan melalui
cara-cara, antara lain :
A. Eksekusi
langsung dengan titel eksekutorial yang berarti sama kekuatannya dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Eksekusi ini dibenarkan oleh
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jarninan Fidusia karena menurut pasal
15 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,
sertifikat Jaminan Fidusia menggunakan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti
kekuatannya sama dengan kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap.
Irah-irah ini memberikan titel eksekutorial dan berarti akta tersebut tinggal
dieksekusi tanpa harus melalui suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang
dimaksud dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti
mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni
dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon penetapan
dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin
eksekusi sebagaimana dimaksud dalam HIR.
B.
Pelelangan Umum atau Parate eksekusi
Eksekusi fidusia juga dapat
dilakukan dengan jalan mengeksekusinya, oleh penerima fidusia lewat lembaga
pelelangan umum (kantor lelang), di mana
hasil pelelangan tersebut diambil untuk inelunasi pembayaran tagihan penerima
fidusia. Parate eksekusi lewat pelelangan urnum ini dapat dilakukan tanpa
melibatkan pengadilan sebagaimana diatur pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
C.
Penjualan di bawah tangan.
Eksekusi fidusia juga dapat
dilakukan melalui penjualan di bawah tangan asalkan terpenuhi syarat-syarat
untuk itu. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima fidusia.
2.
Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak.
3.
Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
4.
Diumumkan dalam sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah tersebut.
5.
Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak
diberitahukan secara tertulis.
D. Eksekusi
terhadap barang perdagangan dan efek yang dapat diperdagangkan.
Eksekusi terhadap barang tersebut
dapat dilakukan dengan cara penjualan di pasar atau bursa sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk pasar dan bursa tersebut sesuai dengan maksud
pasal 31 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
E.
Eksekusi lewat gugatan biasa
Meskipun Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke
pengadilan, tetapi tentunya pihak kreditor dapat menempuh prosedur eksekusi
biasa lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dengan model-model eksekusi khusus tidak
untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada indikasi sedikit pun dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang bertujuan
meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan ke
pengadilan negeri yang berwenang.[7]
Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), jaminan
fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia
dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh
sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Dengan
mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta
mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam
perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selain itu, untuk pembebanan jaminan
fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan
Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Mengutip tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H. dalam artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia
Dengan Akta di Bawah Tangan, saat
ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun
perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance),
sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka
umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan
fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam
akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat
sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah
tangan.
Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum
sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia
harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika
ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan
sebagaimana disebutkan dalam UUJF.
2. Dalam hal debitur
meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya,
terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan
tidak dapat dilakukan eksekusi langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan
cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara
yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Selain itu, bank sebagai
kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1]
UUJF) terhadap kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena
penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan.
Masih menurut Grace P. Nugroho, dalam praktiknya tidak jarang kreditur
langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat
pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan
nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari
perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang
tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika
eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai
harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH
Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.
Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana,
eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk
dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana
jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa:
“Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam
eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal
diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik
kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.
Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang
dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF,
karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.
Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di
laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh
kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian
dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan
putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing
pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.”
3. Dalam suatu perikatan
utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan
apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka
utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada
ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan
sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan
semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks
aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.
Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan
yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah
menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka
para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan
beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan
itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata). Lebih jauh, simak Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Dengan
kata lain, ahli waris dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak
dilunasi.[8]
Eksekusi yang dilakukan melalui
Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011
Tujuannya untuk menyelenggarakan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia secara aman, tertib, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan; melindungi keselamatan Penerima Jaminan Fidusia, Pemberi Jaminan Fidusia, dan/ atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/ atau keselamatan jiwa.
Meliputi apa sajakah objek pengamanan jaminan fidusia?
Meliputi benda bergerak yang berwujud, benda bergerak yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
Apa saja persyaratan untuk dapat dilaksanakannya eksekusi terhadap objek jaminan fidusia?
Dalam Peraturan Kapolri tersebut, untuk melaksanakan eksekusi atas jaminan fidusia dimaksud harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
(1) ada permintaan dari pemohon;
(2) objek tersebut memiliki akta jaminan fidusia;
(3) objek jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;
(4) objek jaminan fidusia memiliki setifikat jaminan fidusia;
(5) jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.
Bagaimana mengajukan permohonan pengamanan eksekusi?
Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum dalam pasal 7 Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011, dimana permohonan pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia.
Apa saja yang harus dilampirkan dalam mengajukan permohonan pengamanan eksekusi?
Untuk pengajuan permohonan eksekusi, pihak pemohon eksekusi harus melampirkan
(1) Salinan akta jaminan fidusia;
(2) Salinan sertifikat jaminan fidusia;
(3) Surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya, dalam hal ini telah diberikan pada Debitor sebanyak 2 kali dibuktikan dengan tanda terima;
(4) Identitas pelaksana eksekusi;
(5) Surat tugas pelaksanaan eksekusi.[9]
[1]http://pengacaradisemarang.blogspot.com/2012/11/proses-pembebanan-dan-penghapusan.html
[2] http://dhyladhil.blogspot.com/2011/05/larangan-hapusnya-jaminan-fidusia.html
[8] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4588/akibat-hukum-jaminan-fidusia-yang-belum-didaftarkan
[9] http://irmadevita.com/2013/eksekusi-jaminan-fidusia-berdasarkan-peraturan-kapolri-no-8-tahun-2011/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar