SUBJEK HAK GADAI
oleh: hamzah aenurofiq
A. Pada dasarnya, yang berhak memegang
barang gadai adalah yang meminjami sesuatu kepada penggadai barang, karena
barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan hutang yang ia berikan kepada si
peminjam. Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh orang yang meminjami
sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak sama-sama rela dan merasa
tsiqah/percaya satu sama lain. Akan tetapi, seandainya salah satu dari mereka
merasa tidak aman dan tidak rela barangnya dipegang oleh orang yang meminjami sesuatu
tadi, maka barang tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah disepakati
oleh kedua bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan orang yang
meminjami sesuatu tersebut). (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 9/82,
dengan penyesuaian)[1]
B.
Subjek
gadai terdiri dari dua pihak yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer),
pandgever yaitu orang atau badan
hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada
penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga.
Unsur-unsur pemberi
gadai:
1. Orang atau badan hukum
2. Memberikan jaminan berupa benda bergerak
3. Kepada penerima gadai
C.
Mengenai
penyerahan objek gadai, perlu kiranya memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1152
KUHPer sebagai berikut :
Ayat 1
Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seseorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Ayat 2
Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang.
Dari ketentuan Pasal 1152 KUHPer ayat 1 dan 2 di atas, dapat dilihat bahwa setiap objek gadai harus diserahkan kepada kreditur atau penerima gadai. Objek gadai tersebut harus dikeluarkan dari kekuasaan debitur dan diserahkan kepada kreditur. Apabila dalam perjanjian gadai tersebut dijanjikan bahwa gadai tetap berada di bawah kekuasaan debitur walaupun atas kemauan kreditur, maka perjanjian gadai tersebut tidak sah dan dianggap batal demi hukum. Perjanjian gadai tersebut dianggap tidak pernah ada.
Penyerahan ini menjadi syarat mutlak dalam penjaminan secara gadai. Alasan pengaturan ini sebenarnya karena demi keamanan hak dari kreditur atas pelunasan utang-utang debitur. Apabila debitur masih memegang dan menguasai barang-barang yang menjadi objek gadai, dikhawatirkan debitur dengan mudah dapat mengalihkan atau menyerahkan barang gadainya kepada pihak lain walaupun pihak lain ini memiliki itikad baik yang perlu dilindungi secara hukum. Akibatnya, tentu akan sangat merugikan pihak kreditur dan hilangnya sifat jaminan dari gadai tersebut. Itulah alasannya mengapa syarat “diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang” menjadi syarat yang penting dan mutlak oleh undang-undang.
Oleh karena prinsipnya disini adalah asalkan barang ditaruh di luar kekuasaan pemberi gadai, maka dimungkinkan pula oleh undang-undang untuk ditaruhkan barang jaminan dalam kekuasaan pihak ketiga (Pasal 1152 ayat 2 KUHPer) dengan persetujuan dari kedua belah pihak. Pihak ketiga ini berkedudukan sebagai pemegang gadai untuk kepentingan kreditur, namun pihak ketiga tersebut haruslah mandiri dan independen serta dia bukan kuasa dari kreditur. Pihak ketiga ini pun tidak tunduk kepada perintah-perintah kreditur, namun dia memiliki kewajiban agar maksud perjanjian gadai terlaksana dan baru menyerahkan barang tersebut untuk proses eksekusi, apabila debitur wanprestasi.[3]
Ayat 1
Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seseorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Ayat 2
Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang.
Dari ketentuan Pasal 1152 KUHPer ayat 1 dan 2 di atas, dapat dilihat bahwa setiap objek gadai harus diserahkan kepada kreditur atau penerima gadai. Objek gadai tersebut harus dikeluarkan dari kekuasaan debitur dan diserahkan kepada kreditur. Apabila dalam perjanjian gadai tersebut dijanjikan bahwa gadai tetap berada di bawah kekuasaan debitur walaupun atas kemauan kreditur, maka perjanjian gadai tersebut tidak sah dan dianggap batal demi hukum. Perjanjian gadai tersebut dianggap tidak pernah ada.
Penyerahan ini menjadi syarat mutlak dalam penjaminan secara gadai. Alasan pengaturan ini sebenarnya karena demi keamanan hak dari kreditur atas pelunasan utang-utang debitur. Apabila debitur masih memegang dan menguasai barang-barang yang menjadi objek gadai, dikhawatirkan debitur dengan mudah dapat mengalihkan atau menyerahkan barang gadainya kepada pihak lain walaupun pihak lain ini memiliki itikad baik yang perlu dilindungi secara hukum. Akibatnya, tentu akan sangat merugikan pihak kreditur dan hilangnya sifat jaminan dari gadai tersebut. Itulah alasannya mengapa syarat “diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang” menjadi syarat yang penting dan mutlak oleh undang-undang.
Oleh karena prinsipnya disini adalah asalkan barang ditaruh di luar kekuasaan pemberi gadai, maka dimungkinkan pula oleh undang-undang untuk ditaruhkan barang jaminan dalam kekuasaan pihak ketiga (Pasal 1152 ayat 2 KUHPer) dengan persetujuan dari kedua belah pihak. Pihak ketiga ini berkedudukan sebagai pemegang gadai untuk kepentingan kreditur, namun pihak ketiga tersebut haruslah mandiri dan independen serta dia bukan kuasa dari kreditur. Pihak ketiga ini pun tidak tunduk kepada perintah-perintah kreditur, namun dia memiliki kewajiban agar maksud perjanjian gadai terlaksana dan baru menyerahkan barang tersebut untuk proses eksekusi, apabila debitur wanprestasi.[3]
D.
Didalam
perjanjian gadai objek-objek gadai menurut hukum perdata tersebut selalu
mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai
dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam suatu perjanjian gadai. Hak
kebendaan tersebut di dalam hukum perdata mengandung ciri-ciri sebagai berikut
:
a.
Benda yang dijadikan sebagai benda
jaminan senantiasa dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan
jelas sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
b.
Si berpiutang yang memegang gadai
menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu
pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi
sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang
diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
c.
Objeknya adalah benda bergerak
baik berwujud maupun tidak berwujud.
d.
Hak gadai merupakan hak yang
dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
e.
Benda yang dijadikan objek gadai
merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
f.
Benda gadai harus diserahkan oleh
pemberi gadai kepada pemegang gadai
g.
Semua barang bergerak dapat
diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.[4]
Di dalam kasus ini
pak parman sebagai pemilik sebenarnya atas barang yang telah dijual di
pelelangan pegadaian, maka pemilik benda tersebut diberikan hak untuk meminta
kembali benda tersebut dari pemegang gadai.
Berdasarkan pasal 1977 ayat (2) dan Pasal 582 KUH Perdata, pembeli yang
membeli barang curian atau barang temuan ditempat umum dapat menuntut agar uang
pembeliannya diganti oleh pemilik (yang merevindikasi) dengan jangka waktu
maksimal 3 tahun. sehingga pembeli yang beritikad baik(pak pardi) dilindungi
dan pak parman bias menggantikan barang dengan sejumlah yang telah dibeli pak
pardi . selain itu dapat diusut kembali sebenarnya debitur yang menggadaikan
barang berupa sepeda dari pak parman itu siapa di pegadaian? Dimungkinkan ada
identitas debitur yang menggadaikan barang curian tersebut sehingga kasus ini
dapat diseleseikan secara hokum sebagai kasus pencurian oleh debitur tersebut
sesuai pasal 362 KUHP. [5]
E.
Subjek
gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima
gadai (pandnemer). Pandgever adalah
orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak
selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya
atau pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai adalah :
1)
Orang atau badan hukum;
2)
Memberikan jaminan berupa benda
bergerak;
3)
Kepada penerima gadai;
4)
Adanya pinjaman uang;
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum
yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya
kepada pemberi gadai (pandgever). Di
Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah
perusahaan pegadaian. Perusahaan ini didirikan berdasarkan :
1)
Peraturan Pemerintah Nomor : 7
tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
2)
Peraturan Pemerintah Nomor : 10
tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang
Perusahaan Jawatan; dan
F.
Seperti
halnya perbuatan perbuatan hukum yang lain, pemberi dan penerima gadai hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum,
akan tetapi, bagi pemberi gadai ada syarat lagi yaitu ia harus berhak
mengasingkan (menjual, menukar, menghibahkan dan lain-lain) benda yang
digadaikan. Pasal 1152 ayat (4) KUHPerd menentukan bahwa kalu kemudian ternyata
pemberi gadai tidak berhak untuk mengasingkan benda itu, gadai tidak bisa
dibatalkan, asal saja penerima gadai betul-betul mengira bahwa pemberi gadai
adalah berhak memberi gadai itu. Kalau penerima gadai mengetahui atau
seharusnya dapat menyangka bahwa pemberi gadai tidak berhak memberi gadai,
penerima gadai tidak mendapat perlindungan hukum dan hak gadai harus
dibatalkan.[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar