ASAS HAK TANGGUNGAN
Oleh hamzah aenurofiq
A.
- Droit de preference, memberikan kedudukan yang
diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya.
- Droit de suit, selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada.
- Memenuhi asas spesialis dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan. Spesialis, asas yang menghendaki bahwa hipotek hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus. Publisitas, asas yang mengharuskan bahwa hipotek itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga/umum.
- Tak dapat dibagi-bagi (ondeedlbaarheid), hipotek itu membebani seluruh objek/benda yang dihipotekkan dalam keseluruhan atas setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda tak bergerak.
- Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.[1]
- Droit de suit, selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada.
- Memenuhi asas spesialis dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan. Spesialis, asas yang menghendaki bahwa hipotek hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus. Publisitas, asas yang mengharuskan bahwa hipotek itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga/umum.
- Tak dapat dibagi-bagi (ondeedlbaarheid), hipotek itu membebani seluruh objek/benda yang dihipotekkan dalam keseluruhan atas setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda tak bergerak.
- Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.[1]
B. Tujuan mempelajari asas hak tanggungan adalah
untuk membedakannya dengan hak-hak tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya
UU Hak Tanggungan yang baru ini, termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya.
Untuk lebih jelasnya, asas-asas tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
- Hak Tanggungan Memberikan Kedudukan Hak yang Diutamakan
Mencermati pengertian Hak Tanggungan yang terdapat
pada Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.
Menelaah dengan saksama terhadap kalimat
"kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu kepada kreditor
lain", hal ini tidak dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 maupun
penjelasannya, namun kalimat tersebut dapat diketemukan dalam penjelasan umum
Undang-Undang Hukum Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa:
Bahwa jika debitur cedera janji,
kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah
yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain. Kedudukan
diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi
piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Selain dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian
mengenai kalimat "kedudukan yang diutamakan tertentu terhadap kreditor
lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi
bahwa:
Apabila debitor cedera janji, maka
berdasarkan: (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objekHak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara
yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, walaupun kreditor tertentu
lebih didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya, akan tetapi tetap
mengalah kepada piutang-piutang negara. Dalam ketentuan piutang negara yang
harus didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya tersebut, maka dasar
hukumnya dapat diketemukan dalam UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan UU
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dijumpai
ketentuan yang menentukan tagihan pajak mempunyai hak mendahului lainnya. Hal
ini sesuai Pasal 21 UU Nomor 9 Tahun 1994 dinyatakan bahwa:
Hak mendahulu tagihan pajak melebihi
segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap:
1. biaya perkara yang semata-mata
disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang;
2. biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan suatu barang;
3. biaya perkara yang semata-mata
disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
2. Hak Tanggungan Tidak Dapat
Dibagi-bagi
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat
dibagi-bagi, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996,
dinyatakan bahwa:
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak
dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Apabila hak tanggungan dibebankan
pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat
dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing
hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan
dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu
hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum
dilunasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di
atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan sifat tidak
dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani
secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah
dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian
objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum
dilunasi. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan pada
ayat (1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain
untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang
semula menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan
dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk pembayarannya pemakai
akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan.
Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa
hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan
suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas
tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara
tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan
3. Hak Tanggungan Hanya Dibebankan pada
Hak Atas Tanah yang Telah Ada
Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak
Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah ada diatur dalam Pasal 8
ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
pendaftaran Hak Tanggungan. St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa : (ST. Remy
Sjahdeini, op. cit, hlm. 25).
Hak Tanggungan hanya dapat
dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak
Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh
seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi
pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak
Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari.
Asas,ini juga merupakan asas yang sebelumnya sudah
dikenal di dalam hipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat
dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan
ada di kemudian hari adalah batal.
4. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan
selain Atas Tanahnya juga Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Tersebut
Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan
bukan saja pada tanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan
dengan tanah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor
4 Tahun 1996, dinyatakan:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan
pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada
atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang
merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas
dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah tersebut.
5. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Juga
Atas Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang Baru akan Ada di Kemudian
Hari
Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas
tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4)
memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang
berkaitan dengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada,
tetapi baru akan ada di kemudian hari.
Lebih jauh St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa dalam
pengertian "yang baru akan ada" ialah benda-benda yang pada saat Hak
Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru
ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya)
kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah)
tersebut
Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak
Tanggungan di atas, dalam kenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam
Pasal 1165 KUH I Perdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi
satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain,
tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan
tanah yang baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebani pula dengan
hipotek.
6. Perjanjian Hak Tanggungan adalah
Perjanjian Accessoir
Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan
perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi
sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada
Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang
dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi
hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir
Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam
poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:
Oleh karena Hak Tanggungan menurut
sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang
didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka
kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin
pelunasannya.
Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum
poin 8 di atas, secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat
(1) UU Nomor 4 'Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian
untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a
menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan
Hak Tanggungan.
7. Hak Tanggungan Dapat Dijadikan
Jaminan untuk Utang yang Akan Ada
Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah
diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan
dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa:
Utang yang dijamin pelunasannya
dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah
diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan
eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian
utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang
bersangkutan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT di
atas, St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa Seperti yang dikemukakan dalam
penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk
menjamin utang yang baru akan ada di kemudian hari adalah untuk menampung
kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank
sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk
menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok
dan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan
kemudian.
Sementara itu, sikap hipotek sama dengan sikap yang
terdapat dalam UUHT mengenai dapatnya Hak Tanggungan dibebani terhadap utang
yang akan ada di kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1176 KUH Perdata
dinyatakan bahwa: Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah utang untuk mana
is telah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam kata. Jika utang bersyarat
ataupun jumlahnya tidak tertentu maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah
sampai jumlah harga-taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya di
dalam aktanya.
Beranjak dari ketentuan Pasal 1176 KUH Perdata di
atas, maka penegasan dapat dilihat dalam Putusan H.R. 30 Januari 1953 N.J.
1953, 578 yang membenarkan bahwa hipotek boleh diberikan untuk menjamin utang
yang pada saat hipotek itu dipasang, belum seluruhnya diserahkan oleh kreditor
kepada debitor atau digunakan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan
debitor.
8. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih
dari Satu Utang
Kelebihan dari Hak Tanggungan adalah berlakunya asas
bahwa Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai
ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:
Hak Tanggungan dapat diberikan untuk
suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau
lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.
Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) di
atas, maka dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:
Sering kali terjadi debitor berutang kepada lebih dari
satu kreditor masing-masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang
berlainan, misalnya kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank
yang bersangkutan. Piutang pada kreditor tersebut dijamin dengan suatu Hak
Tanggungan kepada semua kreditor dengan satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak
Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama. Bagaimana hubungan para
kreditor satu dengan yang lain, diatur oleh mereka sendiri, sedangkan dalam
hubungannya dengan debitor dan pemberi Hak Tanggungan kalau bukan debitor
sendiri yang memberinya, mereka menunjuk salah seorang kreditor yang akan
bertindak atas Hama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menghadap PPAT
dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima
dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan.
9. Hak Tanggungan Mengikuti Objeknya dalam Tongan
Siapa pun Objek Hak Tanggungan Itu Berada
Asas Hak Tanggungan memiliki berbagai kelebihan
karenaundang-undang memberikan prioritas terhadap pemegang Hak Tanggungan
dibandingkan dengan pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang
telah diuraikan di atas, adalah asas Hak Tanggungan mengikuti objek di manapun
objek itu berada Hal ini sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996
dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun
objek tersebut berada.
Menurut St. Remy Sjahdeini, hak tanggungan tidak akan
berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh
sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu
dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah. Ketentuan
Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) ini merupakan materialisasi dari
asas yang disebut droit de suite atau zaakgevolg. Asas ini juga
diambil dari hipotek yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1163 ayat (2) dan
Pasal 1198 KUH Perdata."
Sejalan dengan pendapat St. Remy Sjahdeini di atas,
maka menurut Mariam Daruz Badrulzaman bahwa : Asas ini seperti halnya dalam
Hipotek, memberikan hak kebendaan (zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan
dengan hak perorangan (persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak.
Artinya, hak ini dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Pemegang hak tersebut
berhak untuk menuntut siapa pun juga yang mengganggu haknya itu. Dilihat secara
pasif setiap orang wajib menghormati hak itu. Sedangkan hak perorangan adalah
relatif. Artinya, hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu
saja. Hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap debitor itu saja. Secara
pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan prestasi
terhadap pemilik dari hak itu.
10. Di atas Hak Tanggungan Tidak Dapat Diletakkan Sita
oleh Peradilan
Alasan kehadiran asas Hak Tanggungan tidak dapat
diletakkan sita oleh peradilan merupakan respons terhadap seringnya peradilan
meletakkan sita terhadap hak atas tanah yang di atasnya diletakkan hipotek. St.
Remy Sjahdeini mengatakan bahwa:
Memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak
Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari
(diperkenankannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu
sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat
bagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari
kreditor-kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh
pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang
diutamakan dan kreditor pemegang Hak Tanggungan.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh St. Remy
Sjahdeini di atas, maka dalam perkembangannya sebelum diundangkannya UU Nomor 4
Tahun 1996 telah direspons oleh Mahkamah Agung dengan putusannya Nomor 394k/
Pdt/ 1984 tanggal 31 Mei 1985 dengan amar putusannya berbunyi bahwa
barangbarang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara tersebut adalah
jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik) tidak dapat
diletakkan sita jaminan.
11. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan atas Tanah
Tertentu
Asas yang berlaku. terhadap Hak Tanggungan yang hanya
dapat dibebankan hanya atas tanah tertentu, diilhami oleh asas yang juga
berlaku di dalam hipotek, yaitu yang diatur Pasal 1174 KUH Perdata. Sementara
itu asas ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c UU Nomor 4 Tahun 1996.
Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:
Pemberi Hak Tanggungan adalah
orang-perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan
untuk meletakkan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada pada
pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 di atas, maka dalam
penjelasan Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa: Karena lahirnya Hak Tanggungan
adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada
pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk itu
harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun
1996 di atas, selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa
uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Menurut St. Remy Sjahdeini
bahwa: Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelas
mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang
jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan
belum diketahui ciri-cirinya.
Beranjak dari uraian yang dikemukakan oleh St. Remy
Sjandeini mengenai asas tersebut, lebih lanjut beliau mengatakan bahwa:
Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas "benda-benda yang berkaitan
dengan tanah tersebut", Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda
yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang baru akan ada, sepanjang hal itu
telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari
benda-benda yang berkaitan-dengan tanah itu, juga karena baru akan ada di
kemudian hari, hal itu berarti asas spesialitas tidak berlaku sepanjang
mengenai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
12. Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan
Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib
didaftar, hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan:
Bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan
Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas
tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut pada
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 13 di atas, St. Remy
Sjahdeini menyatakan bahwa: Adalah tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat
dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila
pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak
Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum
yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak
Tanggungan atas suatu hak atas tanah.
Lebih jauh St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa asas
publisitas ini juga merupakan pasal hipotek sebagaimana ternyata dalam Pasal
1179 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa pembukuan Hipotek harus dilakukan dalam
register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan
demikian tidak dilakukan, Hipotek yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan apa
pun, juga tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang
tidak dijaminkan dengan Hipotek).
13. Hak Tanggungan Dapat Diberikan dengan Disertai
Janji-janji Tertentu
Asas Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai
janji-janji tertentu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai
berikut:
Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan
janji-janji antara lain:
- janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
- janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
- janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji;
- janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
- janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji;
- janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa, objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
- janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
- janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untukpelunasan piutangnya apabila objekHak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
- janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
- janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
Berangkat dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) di atas,
maka menurut St. Remy Sjahdeini, janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11
ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena
janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya
maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan
janji-janji lain, selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11
ayat (2).
14. Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan untuk
Dimiliki Sendiri oleh Pemegang Hak Tanggungan Apabila Cedera Janji
Asas Hak Tanggungan yang mencanturnkan tidak boleh
diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera
janji, sebenarnya beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai
ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang janji demikian tersebut disebut
Vervalbeding Pengaturan asas Hak Tanggungan yang tidak boleh diperjanjikan
untuk dimilik sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji diatur
Pasal 12 U I I Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan
kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan
apabila debitor cedera janji, batal demi hukum.
Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan
(UUHT) dinyatakan bahwa, ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi
kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai
objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak
Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek Hak
Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang
bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak Tanggungan asalkan
melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan
(UUHT).
Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St.
Remy Sjahdeini" mengatakan:
Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan
untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap
kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa
menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugi kannya.
15. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan
Pasti
Pencantuman asas Hak Tanggungan ini berkaitan dengan
mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh
karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini sesuai
ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:
Apabila debitor cedera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam
penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan sebagai berikut: Hak untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari
kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang
Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang
Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan
berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang
Hak Tanggungan.
Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka
apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan
eksekusi atau yang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate
eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang
terdapat di dalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada
Hipotek, pemegang Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi
apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalam pemberian
Hak Hipoteknya.
Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak
Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh
Pasal 6 UUHT atau dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak
itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan
yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor
Pertanahan dan yang memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah."[2]
C. Dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan terdapat asas-asas yang mengatur tentang Hak
Tanggungan antara lain:
a) Asas Droit
de Preference: Asas ini menyebutkan bahwa pemegang Hak
Tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya.
Maksud dari kedudukan yang diutamakan adalah pemegang Hak Tanggungan berhak
untuk menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan dengan hak
yang mendahulu daripada kreditur lainnya.
b) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi
c) Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan kepada hak atas
tanas yang telah ada
d) Hak Tanggungan
dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah tersebut
e) Hak Tanggungan dapat
dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di
kemudian hari
f) Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian
accesoir/tambahan
g) Hak Tanggungan
dapat dijadikan jaminan untuk hutang yang baru akan ada
h) Hak Tanggungan dapat
menjamin lebih dari satu hutang
i) Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan
siapapun objek Hak Tanggungan itu berada
j) Di atas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita
oleh Pengadilan
k) Hak Tanggungan
hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu
l) Hak Tanggungan wajib didaftarkan
m) Hak Tanggungan
dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu
n) Objek Hak
Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiki sendiri oleh pemegang Hak
Tanggungan bila debitur cidera janji
o) Pelaksanaan
eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti
Dengan adanya asas-asas ini maka setiap Hak Tanggungan
harus sesuai dengan asas-asas diatas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.[3]
D. Kedudukan
istimewa kreditor pemegang hak tanggungan.
a. Droit De
Preference.
•
Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan HT mengatur
perjanjian utang piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi
hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara
khusus sebagai jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut.
•
Dalam pengambilan pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut
kreditor pemegang HT mempunyai hak mendahulu dari pada kreditor yang lain (“droit
de preference”).
•
Tetapi tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negera menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
b. Droit De
Suite.
•
HT juga tetap membebani objek HT ditangan siapapun benda tersebut berada,
berarti kreditor pemegang HT tetap berhak menjual lelang benda tersebut,
biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”) (pasal
7).[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar