OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN
oleh: hamzah aenurofiqhttp://fh.unas.ac.id/
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
sedang berkembang. Denyut pergerakan ekonomi ini dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk membangun bisnis di bidangj asapembiayaan konsumen yang mulai
popular sejaktahun 1974 (Abdul Kadir Muhammad: Lembaga Pembiayaan, 2004).
Hubungan hukum
yang terjalin antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan terwujud dalam bentuk perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, sehingga bentuk perikatan ini harus tunduk pada beberapa aturan terkait diantaranya KUHPerdataPasal
1313, Pasal 1338, Pasal 1320, UU Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, PP Nomor
86/2000 tentang Tata cara Pendaftaran Jaminan Fidusia, Peraturan Presiden No. 9/2009
tentang Lembaga Pembiayaan dan peratura nterkait lainnya.
Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok kemudian melahirkan perjanjian turunan yang
bersifat accessoir yaitu perjanjian jaminan fidusia dari Leasing
(Kreditor) kepada Konsumen
(Debitor) demi melindungi dan memberikan kepastian bagi Kreditor bahwa hutang atau kredit yang di berikan kepada Debitor akan terbayar jika terjadi Debitor cidera janji, yaitu dengan eksekusi objek benda jaminan fidusia. Jaminan Fidusia sendiri merupakan suatu jaminan atas benda bergerak yang
penguasaannya masih dalam penguasaan Debitor meski pun telah terjadi pengalihan kepemilikan (Ps. 1
butir 1 UU Fidusia).
Apabila kita membaca beberapa putusan pengadilan drtingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi MahkamahAgung (”MA”),
kita akan menjumpai banyak sekali persoalan yang muncul dalam praktek perjanjian fidusia ini. Dari sekian banyak kasus dengan kondisi yang berbeda kita dapa tmenarik satu benang merah yang menjadi akar persoalan.Misalnya dalamPasal 5 ayat (1)
UU Fidusia diatur bahwa pembebanan Objek Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaries, yang
kemudian didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia dalam lingkup Departemen Hukumdan HAM Republik
Indonesia (“Depkumham”) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU
Fidusia.
Atas pendaftaran Objek Jaminan Fidusia ini maka penerima Fidusia akan menerima Sertifikat Jaminan Fidusia dengan tanggal berlaku sesuai dengan pendaftaran (Pasal 14
ayat 1), disinilah pangkal persoalannya bahwa jaminan fidusia baru berlaku pada saat didaftarkan bukan pada saat dibuatnya akta jaminan fidusia, sementara UU
Fidusia maupun PP-nya tidak mengatur kapan suatu Objek Fidusia harus didaftarkan.
Sementara dalam Pasal 15 ayat (2)
Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan, artinya jika Debitor cidera janji Kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas objek jaminan fidusia yaitu dengan melakukan pengambilan dan menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Konsekuensi logisnya adalah jika Kreditor tidak mempunyai sertifikat jaminan fidusia maka Kreditor tidak berwenang untuk melakukan eksekusi, atau dengan kondisi lain Debitor berhak mengalihkan Objek Fidusia sebelum Objek fidusia didaftarkan (Ps. 36
UU Fidusia: ketentuan pidana bagi Debitor yang
mengalihkan Objek Fidusia tanpa persetujuan Kreditor). Kasus seperti ini dapat dijumpai pada Putusan Kasasi MA No. 213
K/Pid/Sus/2010.Secarasingkat, konsumen menjual mobil
yang dibeli dari
Leasing secara kredit kepada pihak ketiga tanpa persetujuan Leasing. Kasus ini ditarik menjadi kasus pidana terkait dengan norma dalam Ps. 36 UU
Fidusia. Pada putusan pengadilan tingkat pertama konsumen dibebaskan dengan pertimbang majelis hakim Objek Jaminan Fidusia baru didaftarkan pada tahun 2008, sementara pengalihan
(penjualan) telah dilakukan pada tahun 2007.Namun pada putusan kasasi MA terdakwa dijatuhi pidana penjara 6 (enam)
bulan dan dendaRp. 2.000.000
(duajuta Rupiah).
Pada situasi seperti ini dimanakah kekuatan asas “Kebebasan Berkontrak” yang
diejawantahkan dalam Pasal 1338 KUH
Perdata?,bahwa sebuah perjanjian menjadi undang-undang bagi para pihak yang
menandatanganinya. Hal-hal yang bersifat administratif
(pemberlakuan tanggal jaminan sesuai dengan tanggal pendaftaran)
seharusnya tidak mengesampingkan suatu asas dalam pemberlakuan suatu ikatan hukum. Idealnya adalah pemberlakuan tanggal pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia diberlakukan sama dengan tanggal pad asaat pembuatan Akta Jaminan Fidusia, selain itu ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Jaminan Fidusia harus mengatur kapan suatu Objek Jaminan Fidusia wajib didaftarakan, dan apa konsekuensinya jika Objek Jaminan Fidusia tidak didaftarkan namun hanya dibuat Akta Jaminan nya saja. Dengan demikian hak penerima fidusia dapat terlindungi secara utuh, dan pemberi fidusia tidak salah memper lakukan suatu Objek Jaminan Fidusia yang masih dalam penguasaannya.
Peraturan perundang-undangan memang tidak selalu sempurna, dan cenderung lebih tertinggal dari fakta hukum yang yanghidup
di tengah masyarakat,
apalagi bagi suatu negara yang menganut system hukum civil
law.Karenasuatuaturanperundang-undangan yang tertulis akan lebih lambat progress nya terkait dengan pembentukan,
pengesahan suatu undang-undang. Namun demikian, fakta yang
hidup di masyarakat dapat menjadi sumber utama dari amandemen suatu peraturan, karena hukum yang baik adalah hukum yang hidup di
tengah masyarakat (living
law), agar kerjasama yang terjalin antar subjek hokum tidak berujung padas engketa.[1]
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada di dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap kreditor lainnya.[2]
Sebelum keluar UU 42 tahun 1999 yang menjadi objek
jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan,
benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor dengan
keluarnya UU no 42 tahun 1999 mak objek jaminan fidusia diberikan pengertian
yang luas.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar