Senin, 22 Desember 2014

hak tanggungan



1.           Pengertian Hak Tanggungan:
A.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :
“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah:
“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang pengaturannya selama ini menggunakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Menurut Purwahid Patrik, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung ciri-ciri :

            Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference), hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1); Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditor yang lain.
            Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7; Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).
            Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.
Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan beban hak tanggungan, melainkan hak tanggungan tersebut tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum terlunasi. Dengan demikian, pelunasan sebagian hutang debitor tidak menyebabkan terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa hak tanggungan bersifat tidak dapat dibagibagi (ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Sehingga, hak tanggungan hanya membebani sisa dari obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masingmasing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.[1]
B.     Undang-undang hak tanggungan memberikan pengertian sebagai berikut “ Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agrarian berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberkan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya”
Dari pengertian diatas maka dapat diuraikan unsure-unur pokok dari hak tanggungan diantaranya :
1.            Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang
2.            Utang yang di jaminkan jumlahnya tertentu
3.            Objek hak tanggungan adalah ahak-ahak atas tanah sesuai dengan undang-undang pokok agrarian yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak usaha dan hak pakai
4.            Hak tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau hanya tanahnya saja[2]
2.    Ciri-ciri Hak Tanggungan:
A.      Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus mengandung ciri-ciri:
a.        Droit de preferent
          Artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (kreditur preferen) akan sangat menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang ingkar janji (wanprestasi).
b.       Droit de suite
Artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.
c.        Memenuhi asas spesialitas dan publisitas\
          Sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk umum (syarat publisitas).

d.       Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji. Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. M. Bahsan , Op.Cit, hal.23-25
Hak Tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh objek Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan. Subekti, Op.Cit, hal. 41
Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT).
Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accecoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.[3]
3.    Asas-asas Hak Tanggungan:
A.    HAK TANGGUNGAN MEMBERIKAN KEDUDUKAN HAK YANG DIUTAMAKAN
Asas ini menyebutkan bahwa pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya.  Yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain, adalah : “Bahwa jika debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain”. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku .
Kedudukan preferen berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini nampak jelas bila dihubungkan dengan  Pasal 1132 BW yang pada asasnya para kreditor berbagi pond’s-pond’s atas hasil eksekusi harta benda milik debitor. Dengan adanya pembebanan  Hak Tanggungan tersebut maka kreditor menjadi preferen atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi Hak Tanggungan. Meskipun pada Penjelasan Umum UUHT tersebut tidak disebutkan apakah piutang-piutang Negara yang berkaitan dengan obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan saja, ataukah mengenai semua piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitor yang bersangkutan.
HAK TANGGUNGAN TIDAK DAPAT DIBAGI-BAGI
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni Pertama Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, hal ini sesuaiketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan bahwa:
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali  jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanahyang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secarautuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti  terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan
pada ayat (1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan,antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakankredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk pembayarannya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumahyang bersangkutan.
Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikansecara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
HAK TANGGUNGAN HANYA DIBEBANKAN PADA HAK ATAS TANAH YANG TELAH ADA
Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada diatur dalam : Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukumterhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggunganpada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasansuatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Asas,ini juga merupakan asas yang sebelumnya sudah dikenal di dalamhipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan ada di kemudian hari adalah batal .
HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANKAN SELAIN ATAS TANAHNYA JUGABENDA-BENDA YANG  BERKAITAN DENGAN TANAH TERSEBUT
Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja padatanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwayang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut
HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBEBANKAN JUGA ATAS BENDA-BENDA YANGBERKAITAN DENGAN TANAH YANG BARU AKAN ADA DI KEMUDIAN HARI
Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4) memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitandengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.
lebih jauh St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa dalam pengertian “yangbaru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yangdibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah(hak atas tanah) tersebut. Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak Tanggungan di atas, dalamkenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 1165 KUH IPerdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satudengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan katalain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitandengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebanipula dengan hipotek
PERJANJIAN HAK TANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN ACCESOIR
Hak Tanggungan hanya merupakan ikatan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yangdisebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasanUU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:
Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutanatau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan padasuatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahirandan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas,secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUNomor 4 ‘Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjianuntuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
HAK TANGGUNGAN DAPAT DIJADIKAN JAMINAN UNTUK UTANG YANG AKAN ADA
Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam
Pasal 3ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa: Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupautang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atauperjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT di atas, St. RemySjahdeini mengatakan bahwa Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokokdan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukankemudian.Sehubungan dengan terjadinya Hak Tanggungan terhadap utang yang baruada, St. Remy Sjahdeini memberikan contoh, yaitu utang yang timbulsebagai akibat nonpayment L/C ekspor oleh opening bank di luar negeri atas penyerahan dokumen-dokumen ekspor yang mengandung discrepancies (dokumen-dokumen yang diserahkan tidak sesuai dengansyarat-syarat yang ditentukan dalam L/C), sedangkan sementara itu negotiating/paying bank (I i dalam negeri telah mengambil alih dokumen-dokumen tersebut dan telah membayarkan utangnya kepada eksportir. Apabila karena nonpayment tersebut eksportir tidak mampu dengan seketika membayar kembali dana yang telah dibayarkan oleh negotiating/paying bank kepadanya itu dan terpaksa diutang, utang yang timbul adalah utang yang muncul kemudian setelah Hak Tanggungan dibebankan.Selain persyaratan yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat persyaratan yang lain, yaitu utang yang baru akan ada di kemudian hariharus telah diperjanjikan terlebih dahulu. St. Remy Sjahdeini menyatakan Mengingat ketentuan Pasal 3 ayat (1) di atas, adalah mutlak bahwa bankclan nasabah harus terlebih dahulu telah diperjanjikan di muka atas utangyang baru akan ada di kemudian hari yang timbul sebagai akibat pencairan bank garansi yang merupakan  fasilitas dari bank yang telah diterima olehnasabah atau yang timbul sebagai akibat terjadinya payment atas L/Ceskspor yang diterima nasabah dari luar negeri melalui bank yangbersangkutan. Dengan kata lain, selain dari adanya garansi bank (Jaminanbank), dan Letter of Credit yang diteruskan oleh bank kepada eksportir,mutlak harus ada pula perjanjian kredit antara bank dan nasabah untuk menampung timbulnya utang nasabah debitor apabila garansi bank dicairkan atau apabila terjadinya payment terhadap L/C tersebut. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut merupakan stand-by-loan agreement. Sementara itu, sikap hipotek sama dengan sikap yang terdapat dalam UUHT mengenai dapatnya Hak Tanggungan dibebani terhadap utang yang akanadadi kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakanbahwa: Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah utang untuk mana istilah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam kata. Jika utang bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah harga-taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya di dalam aktanya. Beranjak dari ketentuan Pasal 1176 KUH Perdata di atas, maka penegasan dapat dilihat dalam Putusan H.R. 30 Januari 1953 N.J. 1953, 578 yangmembenarkan bahwa hipotek boleh diberikan untuk menjamin utang yangpada saat hipotek itu dipasang, belum seluruhnya diserahkan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan debitor.
HAK TANGGUNGAN DAPAT MENJAMIN LEBIH DARI SATU UTANG
Kelebihan dari Hak Tanggungan adalah berlakunya asas bahwa HakTanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai ketentuandalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubunganhukum.Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) di atas, maka dalampenjelasan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:Sering kali terjadi debitor berutang kepada lebih dari satu kreditor masing-masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang berlainan, misalnya kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan. Piutang pada kreditor tersebut dijamin dengan suatu Hak Tanggungan kepada semua kreditor dengan satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama.Bagaimana hubungan para kreditor satu dengan yang lain, diatur olehmereka sendiri, sedangkan dalam hubungannya dengan debitor danpemberi Hak Tanggungan kalau bukan debitor sendiri yang memberinya,mereka menunjuk salah seorang kreditor yang akan bertindak atas Hama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menghadap PPAT dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan berlakunya asas ini, St. Remy Sjahdeini memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa:
Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa kreditor berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitor yangsama dengan masing-masing kreditor itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila sebelumnya (sebelum kredit diberikan oleh kreditor-kreditor itu) telah disepakati oleh semua kreditor. Kesemua kreditor bersama-sama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masing-masing kreditor (bank) kepada satu debitor yang sama itu, jaminannya adalah berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari  kesemua kreditor diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditor itu akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya. Masing-masing kreditor past akan soling mendahulu untuk memperoleh hak yang diutamakan terhadap kreditor yang lain.
HAK TANGGUNGAN MENGIKUTI OBJEKNYA DALAM TONGAN SIAPA PUNOBJEK HAK TANGGUNGAN ITU BERADA
Asas Hak Tanggungan memiliki berbagai kelebihan karena undang-undang memberikan prioritas terhadap pemegang Hak Tanggungan dibandingkandengan pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang telah diuraikan di atas, adalah asas Hak Tanggungan mengikuti objek di manapun objek itu berada Hal ini sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Menurut St. Remy Sjahdeini, hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipunobjek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) inimerupakan materialisasi dari asas yang disebut
droit de suite atau zaakgevolg
Asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata.”Sejalan dengan pendapat St. Remy Sjahdeini di atas, maka menurut MariamDaruz Badrulzaman bahwa :
Asas ini seperti halnya dalam Hipotek, memberikan hak kebendaan(zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan dengan hak perorangan (persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak. Artinya, hak ini dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Pemegang hak tersebut berhak untuk menuntut siapa pun juga yang mengganggu haknya itu. Dilihat secara pasif setiap orang wajib menghormati hak itu. Sedangkan hak perorangan adalah relatif. Artinya, hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentusaja. Hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap debitor itu saja. Secara pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik dari hak itu.
DI ATAS HAK TANGGUNGAN TIDAK DAPAT DILETAKKAN SITA OLEH PERADILAN
Alasan kehadiran asas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan merupakan respons terhadap seringnya peradilan meletakkan sita terhadap hak atas tanah yang di atasnya diletakkan hipotek. St. RemySjahdeini mengatakan bahwa: Memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenankannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri.Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuatbagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untukdidahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditor pemegang Hak Tanggungan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh St. Remy Sjahdeini di atas,maka dalam perkembangannya sebelum diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 telah direspons oleh Mahkamah Agung dengan putusannyaNomor 394k/Pdt/ 1984 tanggal 31 Mei 1985 dengan amar putusannya berbunyi bahwa barangbarang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik) tidakdapat diletakkan sita jaminan.
HAK TANGGUNGAN HANYA DAPAT DIBEBANKAN ATAS TANAH TERTENTU
Asas yang berlaku terhadap Hak Tanggungan yang hanya dapat dibebankan hanya atas tanah tertentu, diilhami oleh asas yang juga berlaku di dalam hipotek, yaitu yang diatur Pasal 1174 KUH Perdata. Sementara ituasas ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c UU Nomor 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa: Pemberi Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan atau badan hukumyang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk meletakkan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada padapemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal8 ayat (2) dinyatakan bahwa: Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk ituharus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan. (Ibid., hlm. 42)Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa uraianyang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Menurut St. Remy Sjahdeini bahwa: Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelasmengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya.Kata-kata “uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan ” dalamPasal 11 ayat (1) huruf e menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harussecara spesifik dapat ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”Beranjak dari uraian yang dikemukakan oleh St. Remy Sjandeini mengenai asas tersebut, lebih lanjut beliau mengatakan bahwa: Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas “benda-benda yangberkaitan dengan tanah tersebut”, Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang baru akan ada,sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan-dengan tanah itu, juga karena baru akan ada di kemudian hari, hal itu berarti asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah “
HAK TANGGUNGAN WAJIB DIDAFTARKAN
Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib didaftar, hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan: Bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajibmengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan danwarkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran HakTanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut padasertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Sejalan dengan ketentuan Pasal 13 di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: Adalah tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. Lebih jauh St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa asas publisitas ini juga merupakan pasal hipotek sebagaimana ternyata dalam Pasal 1179 KUHPerdata yang dinyatakan bahwa pembukuan Hipotek harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotek yang bersangkutan tidakmempunyai kekuatan apa pun, juga tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijaminkan dengan Hipotek).
B.     HAK TANGGUNGAN DAPAT DIBERIKAN DENGAN DISERTAI JANJI-JANJI TERTENTU
Asas Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai berikut: Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain:
a.                   janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan
b.                  janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untukmengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecualidengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HakTanggungan
c.                   janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HakTanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputiletak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji
d.                  janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukanuntuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karenatidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang
e.                   janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untukmenjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji
f.                   janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa,objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan
g.                  janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknyaatau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu daripemegang Hak Tanggungan
h.                  janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskanhaknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untukkepentingan umum
i.                    janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau  sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
j.                    janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Berangkat dari ketentuan  Pasal 1 ayat (2) di atas, maka menurut St. RemySjahdeini, janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).
HAK TANGGUNGAN TIDAK BOLEH DIPERJANJIKAN UNTUK DIMILIKI SENDIRI OLEH PEMEGANG HAK TANGGUNGAN APABILA CEDERA JANJI
Asas Hak Tanggungan yang mencanturnkan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji, sebenarnya beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding Pengaturan asas Hak Tanggungan yang tidak bolehdiperjanjikan untuk dimilik sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji diatur Pasal 12 U I I Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji, batal demi hukum. Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)dinyatakan bahwa, ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin.Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini”mengatakan: Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.
PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN MUDAH DAN PASTI
Pencantuman asas Hak Tanggungan ini berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaansendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal6 tersebut dijelaskan sebagai berikut: Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atauyang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang terdapat didalam Hak Tanggungan.
Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek,pemegang Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalampemberian Hak Hipoteknya.Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6UUHT atau dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan.Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuatirahirah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah.”[4]
4.    Hapusnya Hak Tanggungan:
A.    Pengertian Hapusnya Hak Tanggungan
Hapusnya Hak tanggungan diatur dalam   Pasal 18 sampai dengan 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan.

B.     Sebab-sebab Hapusnya Hak Tanggungan
Ada 6 (enam) cara berakhirnya atau hapusnya Hak Tanggungan, keenam cara tersebut disajikan sebagai berikut:
1.      dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara suka rela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa.
2.      debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur  dengan suka rela. Sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir.
3.      Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera cedera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate eksekusi dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari hasil penjualan barang tersebut. dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir.
4.      Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat Hak Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusikan berdasarkan pasal 224 HIR yang diikuti pelelanngan umum. Dengan dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir. Disini tidak terjadi gugatan.
5.      Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yanng kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat dieksekusi secara suka rela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian utang piutang berakhir.
6.      Debitur tidak mau melaksanakan putusan penngadilan yang mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir.[1]
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberian Hak Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan pringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Pitlo[2] berpendapat bahwa Hak Tanggungan hapus dalam  hal-hal sebagai berikut:
1.      Berakhirnya perikatan
2.      Hak Tanggungan dilepaskan kreditur
3.      Musnahnya obyek Hak Tanggunngan
4.      Kedudukan pemegang dan pemberi Hak Tanggungan jatuh dalam satu tangan
5.      Berakhirnya perjanjian pemberian  Hak Tanggungan
6.      Berakhirnya hak pemberi Hak Tanggungan
7.      Syarat batal dalam perjanjian  pemberian Hak Tanggungan
8.      Pemerintah mencabut hak atas tanah
9.      Penetapan peringkat oleh hakim
10.  Jika eksekusi telah dilaksanakan
P.A. Stein[3] mengemukakan pula 6  (enam) carahapusnya Hak Tanggungan
1.      Hapusnya hutang, yang dijamin oleh Hypotheek
2.      Afstand hypotheek
3.      Lenyapnya benda hypotheek
4.      Percampuran kedudukan pemegang dan pemberi hypotheek
5.      Pencoretan, karena pembersihan dan kepailitan
6.      Pencabutan hak milik.

Selain itu, sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a)      Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
Karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya adalah untuk kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan) adalah logis bila Hak Tanggungan dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh kreditur (pemegang Hak Tannggungan) sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.
Sesuai dengan sifat Hak Tannggungan yang  accesoir, adanya Hak Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.
b)      Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegang Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menentukan sebagai berikut:
hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hal ini pokoknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
Perikatan-perikatan hapus:
1.   Karena pembayaran;
2.   Karena penawaran pembayaran tunai, diikkuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3.   Karena pembaruan utang;
4.   Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5.   Karena percampuran utang;
6.   Karena pembebasan utang;
7.   Karena musnahnya barang yang terutang;
8.   Karena kebatalan atau pembatalan;
9.   Karena berlakunya suatu syarat batal;
10.     Karena lewatnya waktu.
Tanpa adanya pernyataan bebas dari kreditot terhadap debitor, maka utang debitor masih tetap harus dipenuhi oleh debitor kepada kreditor. Demikian pula halnya suatu Hak Tanggungan, tanpa adanya pernyataan pelepasan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan tidak pernah hapus.
Tampak jelas, bahwa suatu Hak Tanggungan yang telah diberikan sebelum dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tidak akan hapus dan akan terus berlaku untuk menjamin pelunasan utang yang masih akan ada di kemudian hari selama dan sepanjang perikatan pokok antara debitor dan  kreditor pemegang Hak Tanggungan yang (akan) lahir dari perjanjian antara mereka tidak atau belum dihapuskan.
Dalam konteks ini pun, untuk kepentingan praktis, maka pernyataan tertulis kreditor pemegang Hak Tanggungan mengenai maksudnya untuk melepaskan Hak Tanggungan harus disampaikan agar pencoretan Hak Tanggungan dapat dilakukan.
c)      Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh  Ketua Pengadilan Negeri;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan sebagai akibat pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan yang berbunyi:
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban  Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
Dari konteks rumusan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa hapusnya Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena terdapat lebih dari satu Hak Tanggungan yang diletakkan atas bidang tanah tersebut. Selanjutnya, dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang  Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa:
1)      Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
2)      Pembersihan obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
3)      Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekalligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.
4)      Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari Hak Tanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak denga telah tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.
Dapat diketahui bahwa permintaan penghapusan tersebut dapat dimintakan oleh setiap pembeli hak atas tanah, yang diatasnya terletak beban berupa Hak Tanggungan yang jumlahnya lebih dari satu, dengan ketentuan bahwa:
1.   Jika pembelinya dilakukan melalui pelelangan, maka  pembersihan harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri;
2.   Jika pembelinya dilakukan melalui penjualan sukarela, maka pembersihan dikabulkan jika dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan yang selanjutnya tidak tercantum janji untuk tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan, hingga seluruh kewajiban debitor   dipenuhi. Dengan demikian berarti dalam hal perjanjian pemberian atau pembebanan Hak Tanggungan dimuat janji bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f Undang-Undang Hak Tanggungan, maka pembeli objek Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela tidak dapat meminta agar hak atas tanahnya dibersihkan.
Pasal 11
(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji- janji, antara lain:
f.    janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
dari ketentuan tersebut diata , dapat diketahui bahwa hanya pembeli kebendaan yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan melalui pelelangan (umum) yanng dapat secara mutlak meminta pembersihan Hak Tanggungan dan sekaligus meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk membagi hasil penjualan kebendaan tersebut manakala terjadi sengketa mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan tersebut. Secara teoretis masalah perolehan pembuktian dapat muncul dari pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya, manakala hasil penjualan tidak mencukupi untuk melunasi piutang mereka. Untuk itu maka, khusus bagi pembeli melaluui pelelanngan umum, mereka ini diberikan suatu kepastian bahwa kebendaan yang dibeli adalah bebas dari segala beban, maka itu mereka berhak untuk menuntut pembebasan tersebut, meskipun hal tersebut mungkin dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan peringkat ke-2 dan seterusnya.
Ø  Tujuan diadakannya lembaga pembersihan
Lembaga pembersihan ini diadakan untuk melindungi kepentingan pembeli obyek Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian itu tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin (lihat Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UUHT).
Jika obyek Hak Tanggungan akan dijual, pembeli obyek Hak Tanggungan tentu tidak tertarik untuk memebeli obyek Hak Tanggungan ittu, karena pemegang Hak Tanggungan berdasarkan hak kebendaannya senantiasa berhak mengejar pembeli agar membayar kekurangan yang dideritanya akibat dari harga jual yang lebih rendah dari piutangnya.
Di dalam konteks ini ada konflik antara dua asas, yaitu hak kebendaan dari Hak Tanggungan dan penjualan obyek Hak Tanggungan. Dari konflik inilah lahir konsep “pembersihan” (zuivering) sebagai upaya hukum untuk membebaskan obyek Hak Tanggungan dari tagihan yang melekat diatas obyek itu, karena harga jualnya lebih rendah dari jumlah kredit yang dijamin Hak Tanggungan itu[4].
Ø       Tata cara pembersihan
UUHT  menentukan tata cara pembersihan itu sebagai berikut:
a.    Obyak Hak Tanggungan dibebani satu Hak Tanggungan
b.   Obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, maka ditempuh tatacara  sebagai berikut:
-          Dalam hal tidak terdapat kesepakatan diantara pemegang Hak Tanggungan, maka pembeli menngajukan ke Ketua Pengadilan Negeri di dalam wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu terletak, mengenai:
         Pembersihan;
         Pembagian hasil penjualan lelang diantara pemegang Hak Tanggungan;
         Peringkat pemegang Hak Tanggungan.

d)     Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Alasan terakhir hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani  Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah  tertentu yang dijaminkan.
Selain itu, mengenai hapusnnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan adalah logis, karena keberadaan suatu Hak Tanggungan hanya mungkin bila telah atau masih ada objek yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu. Objek dari Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah negara. Karena itu Hak Tanggungan akan hapus apabila hak-hak atas tanah itu hapus atau berakhir.
Perlu diperhatikan bahwa  khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk  meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini.
1)      Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.
2)      Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus.
3)      Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar  hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atas Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.
4)      Untuk melindungi kepentingan kreditur/ bank yang semula dijammin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus.  sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan objek Hak Millik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.
5)      Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanahdapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.
Berdasarkan ketentuan PMNA/KBPN tersebut saat hapusnya Hak Tannggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karen asetelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditur menjadi kreditur konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditur dapat membuat APHT berdsarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan itu lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan , yaitu tanggal hari ketujuh  setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
Terhadap ketentuan PMNA/KBPN terdapat beberapa hal yanng perlu diperhatikan, yaitu:
1.      Jangka waktu SKMT. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT.
2.      Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan krediturnya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogyanya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam sertifikat Hak Tanggungan yang semula membebani  tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Kreditur pemegang  SKMHT ini haruslah kreditur yang semula pemeganng Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah.
3.      Atas perubahan hak, bagi kreditur perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditur tidak lagi menjadi kreditur preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
4.      ketentuan PMNA/KBPN tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.
C.    Tata Cara Penghapusan Hak Tanggungan
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa Hak Tanggungan dapat dengan sengaja dihapuskan, baik dari kehendak dari pemegang Hak Tanggungan itu sendiri maupun karena pembersihan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya  dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai proses apa yang harus dilakukan  setelah pemberi Hak Tanggungan menerima pemberian pernyataan tertulis tersebut. Menurut penulis, karena pemberian Hak Tangggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan dan lahirnya Hak Tanggungna adalah pada hari didaftarkannya Hak Tanggungan itu pada buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan  tersebut serta dengan pendaftaran Hak Tanggungan itu, Hak Tanggungan itu berlaku terhadap pihak ketiga. Karena itu, setelah pemberi Hak Tanggungan menngajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri surat pernyataan tertulis tersebut agar Hak Tanggungan tersebut dicatat pada buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan bahwa Hak Tanggungna itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, Hak Tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi baggi pihak ketiga.
Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Penngadilan Negeri terjadi dengan diajukannya permohonan oleh pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinnya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan tersebut.
KESIMPULAN

Hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan.
Pasal 18 ayat (1) UUHT
-          Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a.       Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
b.      Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan
c.       Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan Penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
d.      Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Menurut Pitlo, Hak Tanggungan hapus dalam hal-hal sebagai berikut:
1.    Berakhirnya perikatan
2.      Hak Tanggungan dilepaskan kreditur
3.      Musnahnya obyek Hak Tanggunngan
4.      Kedudukan pemegang dan pemberi Hak Tanggungan jatuh dalam satu tangan
5.      Berakhirnya perjanjian pemberian  Hak Tanggungan
6.      Berakhirnya hak pemberi Hak Tanggungan
7.      Syarat batal dalam perjanjian  pemberian Hak Tanggungan
8.      Pemerintah mencabut hak atas tanah
9.      Penetapan peringkat oleh hakim
10.  Jika eksekusi telah dilaksanakan
Sedangkan menurut P.A.Stein, ada enam cara hapusnya Hak Tanggungan, yaitu sebagai berikut:
7.      Hapusnya hutang, yang dijamin oleh Hypotheek
8.      Afstand hypotheek
9.      Lenyapnya benda hypotheek
10.  Percampuran kedudukan pemegang dan pemberi hypotheek
11.  Pencoretan, karena pembersihan dan kepailitan
12.  Pencabutan hak milik.[5]
5.    Eksekusi Hak Tanggungan:
A.  3 (tiga) macam Eksekusi Hak Tanggungan menurut UUHT adalah :
1. Titel Eksekutorial
Yaitu eksekusi berdasarkan irah- irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dilakukan melalui tata cara dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Jenis eksekusi ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Eksekusi atas Kekuasaan Sendiri
Eksekusi atas kekuasaan sendiri ini harus diperjanjikan dalam perjanjian sebelumnya. Menurut Pasal 20 ayat (1) huruf (a) jo. Pasal 6 UUHT, apabila debitur wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu.
3. Eksekusi Dibawah Tangan
Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3) UUHT. Inti dasar dari pasal ini adalah adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang akan menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar pada daerah yang bersangkutan serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.[6]
B.     PELAKSANAAN EKSEKUSI OBYEK HAK TANGGUNGAN BERDASAR PASAL 6 UUHT TIDAK SAH MENURUT HUKUM
ABSTRAK
Eksekusi obyek HT oleh UUHT diatur secara sistematis dan terpadu. Dilihat dari segi prosedur ada tiga jenis eksekusi obyek HT, yaitu 1. eksekusi parat [Pasal 20 (11.a) jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT], 2. Eksekusi pertolongan hakim [Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT], 3. [Pasal 20 (2) dan (3) UUHT].Ketentuan tentang eksekusi tersebut menurut Pasal 26 dan Penjelasan Umum Nomo 9 UUHT dinyatakan belum berlaku selama belum ada peraturan pelaksanaannya, untuk mencegah terjadinya kekosongan hokum maka diberlakukan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Menurut Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bentuk peraturan pelaksanaan yang dimaksud Pasal 26 UUHT adalah peraturan pemerintah.
UUHT adalah ketentuan Hukum Materiil Perdata, sedangkan HIR/ RBg adalah ketentuan Hukum Acara Perdata, ini berarti ketentuan tentang eksekusi dalam Hukum Acara Perdata dipinjam oleh Hukum Materiil Perdata. Akibat hukum dari hal ini adalah pelaksanaan eksekusi obyek HT hanya sah apabila didasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sedangkan seluruh ketentuan UUHT tentang eksekusi (termasuk Pasal 6 UUHT) belum berlaku. Dengan demikian pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT adalah tanpa dasar hukum,akibatnya pelaksanaan eksekusi tersebut tidak sah.
Sehubungan dengan tidak sahnya pelaksanaan eksekusi menurut Pasal 6 UUHT, maka bagi debitor dan/ atau pihak ketiga yang merasa dirugikan dapat mengajukanupaya hokum. Jenis upaya hukum yang dapat diajukan verzet melawan eksekusiatau gugat perlawanan. Verzet diajukan saat pelaksanaan eksekusi masih berlangsung, sedangkan gugat perlawanan diajukan apabila pelaksanaan eksekusi sudah selesai.
1.                   LATAR BELAKANG LAHIRNYA UUHT
Ketentuan tentang hak tanggungan dalam UUHT merupakan pengganti ketentuan tentang hipotik dan crediet verband sejauh tentang tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Penggantian ini selain diamanatkan oleh ketentuan dalam UUPA (Pasal 51)
juga untuk mengatasi persoalan tentang pelaksanaan eksekusi hipotik. Di dalam Penjelasan Umum Nomor 2 UUHT antara lain dikatakan, bahwa:
ketentuan tentang crediet verband dan hipotik berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam UUPA, dimaksudkan berlaku untuk sementara waktu sambil menunggu undang-undang yang dimaksud Pasal 51 UUPA. Ketentuan-ketentuan tersebut jelas tidak sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam Hukum Tanah Nasional, akibatnya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya timbul berbagai perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan Hukum Jaminan atas Tanah, misalnya tentang pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan.
Menurut J Satrio, penyebab kekacauan dan ketidakpuasan dalam hak jaminan atas tanah sebagian besar bukan pada ketentuan Hukum Materiil hipotik/ crediet verband, melainkan pada penafsiran pihak tertentu atas pelaksanaan ketentuan hak jaminan hipotik dan crediet verband dan pada pelaksanaannya di pengadilan. Bukan pada ketentuan hipotik/ crediet verbandnya yang tidak jelas, tetapi ketika kreditor-pemegang hipotik akan melaksanakan pengambilan pelunasan berdasarkan grosse akta hipotik, menghadapi persoalan apakah yang mempunyai kekuatan eksekutorial itu grosse akta hipotiknya (sesuai dengan Pasal 224 HIR) atau sertifikat hipotiknya sesuai PMA 215/1961. Dalam ketentuan tentang hipotik/ crediet verband dan dalam Hukum Acara- baik HIR, RBg maupun RV- tidak dikenal lembaga “sertifikat hipotik”, apalagi sebagai grosse. Ini memicu masalah.
Untuk memahami akar permasalahan eksekusi obyek jaminan hipotik, perlu melihat ke belakang. Menurut KUH Perdata, pengaturan perjanjian jaminan dikelompokkan menjadi dua, yaitu jaminan dengan obyek benda bergerak dan tetap. Ketentuan tentang jaminan benda bergerak nama perjanjian jaminannya adalah gadai, sedang untuk benda tetap nama perjanjiannya adalah hipotik. Perjanjian gadai diatur dalam Pasal 1150 – Pasal 1161 KUH Perdata, sedang hipotik dalam Pasal 1162 – Pasal 1232 KUH Perdata.
Eksekusi obyek gadai diatur dalam Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUH Perdata.
Pasal 1155 KUH Perdata berbunyi:
Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, jika debitor wanprestasi, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, maka kreditor berhak menyuruh menjual di muka umum obyek gadai menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan itu.
Menurut ketentuan tersebut, apabila tidak ditentukan prosedur eksekusi obyekgadai, maka apabila debitor wanprestasi pihak kreditor oleh undang-undang diberi hak untuk langsung menjual obyek gadai dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dari sini terlihat, bahwa begitu debitor wanprestasi, maka seketika itu pula pihak kreditor memiliki hak untuk langsung menjalankan eksekusi tanpa harus menumpuh prosedur litigasi. Oleh karena itulah maka menurut ilmu hukum, eksekusi ini dinamakan eksekusi parat (eksekusi langsung), yaitu langsung mengubah obyek gadai yang semula secara phisik berupa benda bergerak diubah menjadi sejumlah uang melalui eksekusi. Menurut para sarjana, istilah penjualan di muka umum dalam pasal tersebut adalah penjualan melalui lelang, yaitu suatu tata cara penjualan dengan penawaran harga semakin tinggi atau semakin rendah. Tujuan penjualan obyek gadai melalui lelang adalah agar dalam penjualan tersebut dicapai harga tinggi, sehingga tidak merugikan pihak debitor pemberi gadai.
Selain dilakukan dengan cara eksekusi parat, eksekusi obyek gadai juga dapat dilakukan menurut perjanjian. Biasanya perjanjian yang dipilih untuk tata cara penjualan gadai adalah penjualan di bawah tangan. Pelaksanaan eksekusi penjualan di bawah tangan lebih sederhana daripada eksekusi parat.
Menurut Pasal 1156 KUH Perdata, penjualan obyek gadai atas izin hakim. Penjualan secara demikian ini diperlukan untuk benda-benda tertentu yang apabila dijual secara lelang tidak akan mendapatkan hasil optimal, misalnya benda antik atau benda seni dengan penetapan hakim dapat dilakukan penjualan dengan cara penawaran melalui internet dan sebagainya.
Sedangkan eksekusi obyek hipotik dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg dan berdasarkan Pasal 1178 (2) jo. Pasal 1211 KUH Perdata.
Menurut Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg pada saat debitor wanprestasi, kreditor pemegang grosse akta hipotik menghadap KPN, untuk mengajukan permohonan agar grosse akta hipotik tersebut dieksekusi, dengan mengatakan: “Pak Hakim sehubungan dengan wanprestasinya debitor, saya minta tolong grosse akta hipotik ini dieksekusi.” Selanjutnya KPN akan melaksanakan eksekusi seperti halnya mengeksekusi putusan hakim biasa yang dijatuhkan tanpa adanya sita jaminan, yaitu eksekusi berdasarkan Pasal 195-Pasal 200 HIR). Prosedur eksekusinya adalah KPN memanggil debitor/ pemberi hipotik untuk ditegur (aanmaning). Pada kesempatan ini KPN melakujkan beberapa hal. Pertama, KPN menergur pihak debitor/ pemberi hipotik selain ditegur dengan mengatakan “mengapa dirinya tidak memenuhi kewajiban membayar utang kepada kreditor sesuai dengan perjanjian”.Kedua, KPN memberi penjelasan akibat hukum yang muncul sehubungan dengan wanprestasi tersebut, yaitu akibat hukum terhadap obyek hiptek berupa penjatuhan sita eksekutorial, dilanjutkan dengan pengumuman dan pelaksanaan lelang. Pada kesempatan ini perlu juga dijelaskan tentang akibat finansial yang harus ditanggung oleh debitor/ pemberi hipotek apabila penyelesaian piiutang dilakukan melalui lelang eksekusi. Ketiga, KPN masih
memberi kesempatan kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya secara sukarela dalam jangka waktu tertentu. Bilamana jangka saktu tersebut habis dan pihak debitor/ pemberi hiportik tidak memenuhi secara suka rela kewajibannya, maka KPN membuat penetapan untuk menyita eksekusi obyek hipotik yang bersangkutan, dilanjutkan dengan penjualan lelang melalui kantor lelang negara. Sehubungan dengan hal ini, maka eksekusi obyek hipotik berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg disebut eksekusi dengan pertolongan hakim.
Prosedur kedua eksekusi obyek hipotik diatur dalam Pasal 1178 (2) jo. Pasal 1211 KUH Perdata. Menurut pasal tersebut, apabila debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang hipotik pertama secara mutlak dikuasakan untuk menjual obyek hipotik untuk mengambil pelunasan piutangnya. Di dalam praktek, istilah “secara mutlak dikuasakan untuk menjual” dalam pasal tersebut terkenal dengan istilah janji menjual atas kekuasaan sendiri (beding van eigenmachtig verkoop). Prosedur eksekusi di sini adalah, apabila debitor wanprestasi, maka kreditor dapat langsung menghadap pimpinan kantor lelang untuk mohon lelang atas obyek hipotik, dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari pendapatan lelang tersebut. Jadi dalam hal ini kreditor tidak perlu menghadap KPN untuk minta fiat eksekusi, atau mohon agar KPN mengeksekusi obyek hipotik, apalagi menempuh jalur litigasi. Sama dengan eksekusi obyek gadai, eksekusi obyek hipotik di sini dinamakan eksekusi parat (eksekusi langsung)
Pada mulanya pelaksanaan eksekusi obyek hipotik melalui eksekusi parat berjalan lancar. Namun dalam perkembangannya pelaksanaan eksekusi ini terhambat, sehubungan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3210K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang mensyaratkan adanya fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri. Dalam
perkembangannya, kewajiban fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri tersebut berubah menjadi pelaksanaan eksekusi oleh ketua pengadilan negeri. Hal ini berarti terjadi pergeseran dari eksekusi parat menjadi eksekusi dengan pertolongan hakim, atau dengan kata lain tidak berlakunya lagi ketentuan tentang eksekusi parat.
Kekacauan tentang prosedur eksekusi tersebut menjadi lebih parah dengandikeluarkannya “pendapat Mahkamah Agung” sebagaimana tertuang dalam tiga suratnya, masing-masing tertanggal 16 April 1985 Nomor: 213/229/85/II/Um-Tu/Pdt ditujukan kepada Soetarno Soedja dari Kantor Pengacara Gani Djemat & Partner, tanggal 18 Maret 1986 Nomor 133/154/86/II/Um-Tu/Pdt kepada Direksi Bank Negara 1946, dan tanggal 1 April 1986 Nomor: 147/168/86/Um-Tu/Pdt kepada Pimpinan BKPH Perbanas. Menurut Pendapat MA tersebut, grosse akta (grosse surat utang notariil, de grossen van notariëele schuldbriëven) yang mempunya kekuatan eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah:
2.                   Grosse akta pengakuan utang;
3.                   Berkepala seperti putusan hakim (berkepala: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”);
4.                   Isinya pengakuan utang membayar/ melunaskan suatu jumlah uang tertentu (pasti), bukan jumlah utang yang dapat dipastikan;
5.                   Bersifat murni, artinya dalam pengakuan utang itu tidak ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, terlebih lagi persyaratan-persyaratan yang berbentuk perjanjian (terutama perjanjian kuasa memasang hipotik dan kuasa untuk menjual); dan
6.                   Mengandung sifat eksepsional terhadap asas bahwa seseorang hanya dapat menyelesaikan sengketa melalui gugatan.
Pendapat MA tersebut lebih memperkeruh suasana pelaksanaan eksekusi obyek hipotik. Penyebab utama hal ini adalah adanya ketidaksamaan pandangan ketua pengadilan negeri tentang syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Ketidaksamaan pandangan tersebut terjadi di antara ketua pengadilan negeri yang satu dengan yang lain, baik dari pengailan- pengadilan negeri yang berbeda maupun dari satu pengadilan negeri.Ketua pengadilan negeri adalah figur sentral dalam pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga pandangannya tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah menentukan. Hal ini berarti bahwa ketidaksamaan pandangan di antara mereka mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum tentang eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Mengingat pada umumnya pengguna eksekusi Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah dunia perbankan, maka kekacauan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg menimbulkan akibat terhadap roda perekonomian, yang oleh pembentuk UUHT disebut sebagai: “tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi.”
Untuk mengatasi hal tersebut, dibentuklah undang-undang sebagai realisasi dari amanat Pasal 51 UUPA, yaitu UUHT. Dalam UUHT permasalahan yang muncul tersebut diatasi dengan pengaturan tentang jumah utang yang dapat dieksekusi (Pasal 3 UUHT) titel eksekutorial beserta prosedur eksekusinya.
7.                   PENGERTIAN EKSEKUSI
Para sarjana pada umumnya mengartikan eksekusi sebagai pelaksanaan putusan pengadilan (hakim). Rumusan demikian ini tidak tepat. Dipandang dari segiobyeknya, eksekusi tidak hanya berobyekkan putusan hakim, misalnya eksekusi obyek hak tanggungan sebagaimana yang kita bicarakan kali ini. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan definisi baru tentang eksekusi.
Istilah eksekusi menurut Hukum Eksekusi diartikan sebagai upaya paksa untuk merealisasi hak kreditor karena pihak debitor/terhukum tidak mau secara suka rela memenuhi kewajibannya atau upaya paksa untuk merealisasi sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Secara singkat, menurut Hukum Eksekusi, istilah eksekusi mengandung makna sebagai suatu upaya paksa untuk merealisasi hak dan/atau sanksi.
Berdasar pengertian tersebut dapat ditarik beberapa unsur dari eksekusi, yaitu upaya paksa, untuk merealisasi, hak, atau sanksi.
Upaya paksa; unsur ini mengandung makna bahwa dalam eksekusi selalu terkandung unsur paksaan, dengan kata lain dalam eksekusi selalu terdapat paksaan atau kekerasan, yaitu paksaan atau kekerasan menurut hukum. Apabila dalam merealisasi hak atau sanksi tidak ada unsur paksaan atau kekerasan, maka hal tersebut bukan eksekusi, melainkan pelaksanaan secara sukarela.
Untuk merealisasi; hal ini berarti tujuan eksekusi adalah untuk merealisasi hak atau sanksi, Jadi berbeda dengan ketentuan hukum materiil yang diadakan dengan tujuan untuk memberikan pedoman tentang siapa yang berhak dan sanksi yang mengikutinya apabila terjadi pelanggaran hak. Tujuan eksekusi tersebut juga berbeda dengan tujuan berperkara di
muka hakim yang prosedurnya diatur dalam hukum acara. Putusan hakim berguna untuk memberikan kepastian hak serta jenis dan beratnya sanksi. Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut hukum materiil, seseorang mempunyai hak, selanjutnya apabila haknya dilanggar oleh orang lain maka disediakan ketentuan hukum acara yang mengatur tata cara penegakan hak yang dilanggar tersebut. Menurut hukum acara orang yang merasa haknya dilanggar tersebut dapat menuntut di pengadilan supaya haknya dikuatkan dan si pelanggar dijatuhi sanksi. Putusan hakim yang mengabulkan gugatan dalam perkara ini tidak lain daripada memperkuat hak orang yang bersangkutan dan sekaligus menjatuhkan sanksi terhadap si pelanggar hak. Namun hak yang ditetapkan oleh hukum materiil dan kemudian dikuatkan oleh hukum acara (melalui putusan hakim) tersebut tidak ada artinya apabila hak tersebut tidak dapat direalisasi. Ketentuan mengenai realisasi paksa hak atau sanksi ini ditemukan pengaturannya dalam hukum eksekusi.
Hak; Hak di sini diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki seseorang yang mewajibkan orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap dirinya. Pengertian hak di sini dibatasi pada hak menurut hukum atau hak yang mendapat perlindungan hukum, baik menurut hukum materiil maupun hukum acara (berdasar putusan hakim).
Sanksi; Istilah sanksi diartikan sebagai (ancaman) penderitaan yang dikenakan terhadap seseorang yang tidak memenuhi kewajiban hukumnya. Sanksi yang direalisasi dalam eksekusi bersumber pada ketentuan hukum materiil (perdata, pidana, tata negara maupun adminitrasi negara), putusan hakim dan/ atau perjanjian.
8.                   PENGATURAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI DALAM UUHT
UUHT mengatur tentang eksekusi obyek hak tanggungan secara sistematis dan terpadu. Ketentuan tentang jenis eksekusi obyek hak tanggungan secara menyeluruh diatur dalam Pasal 20 UUHT yang berbunyi:
(1)   Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a)                   hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b)                  titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 14 (2).
Obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutangpemegang hak tanggungan dengan mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Ketentuan tersebut mengatur eksekusi menurut prosedur. Di dalam ketentuantersebut, diatur tiga jenis eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu: eksekusi parat (eksekusi langsung), eksekusi dengan pertolongan hakim, dan eksekusi penjualan di bawah tangan.
9.                   Eksekusi parat (eksekusi langsung) obyek hak tanggungan
Eksekusi parat obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT.
Menurut Pasal 20 (1) a jo. Pasal 6 UUHT, apabila debitor wanprestasi maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu.
Prosedur eksekusi parat yang dimaksud oleh Pasal 20 (1) a UUHT jo. Pasal 6 UUHT tersebut mensyaratkan adanya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding van eigenmachtig verkoop) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (2) e UUHT.
Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri dilakukan melalui prosedur eksekusi parat. Tindakan atau pelaksanaan eksekusi parat dilakukan apabila debitor wanprestasi. Begitu debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan diberi hak oleh UUHT untuk langsung mohon lelang kepada kantor lelang negara (sekarang permohonan diajukan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Jadi walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”, namun pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditor pemegang hak tanggungan, melainkan harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut, selanjutnya pejabat lelang memroses pelaksanaan lelang, diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang dan pembagian hasil lelang.
Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh biaya dan pelunasan utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut harus diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.
2. Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan
Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakim yang dimaksud Pasal 20 (1) b UUHTberupa permohonan eksekusi oleh kreditor kepada Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya Pengadilan Negeri melaksanakan eksekusi sebagaimana melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang sudah mencapai kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap sertifikat hak tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Sertifikat hak tanggungan yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan, demikian diatur dalam Pasal 14 UUHT dan penjelasannya.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakim tersebut adalah prosedur eksekusi yang ada dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Penggunaan prosedur ini dengan tegas dapat dibaca dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, seperti berikut ini:
Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untukmemasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Sehubungan dengan itu, pada sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surat-tanda-bukti adanya hak tanggungan, (yang pada bagian atasnya) dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata: “DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,” untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Dari Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT ini diketahui bahwa UUHT tidak secara khusus mengatur tentang prosedur eksekusi obyek hak tanggungan, melainkan memasukkan ketentuan tentang eksekusi yang ada di dalam Hukum Acara Perdata sebagai ketentuan pelaksanaan eksekusi. Ketentuan UUHT merupakan ketentuan Hukum Materiil Perdata, yang mengatur perihal hukum jaminan. Di dalam setiap Hukum Jaminan, selalu ditemukan ketentuan tentang eksekusi obyek jaminan apabila debitor wanprestasi. Prosedur eksekusi obyek jaminan yang diatur di dalam Hukum Jaminan selalu sederhana, singkat dan mudah, yaitu begitu debitor wanprestasi kreditor langsung bertindak dalam tahap eksekusi tanpa harus menempuh jalur litigasi. Di lain pihak, ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg tentang eksekusi dengan pertolongan hakim, berada dalam ranah Hukum Acara Perdata. Ketentuan Hukum Acara Perdata diberlakukan dalam hal penyelesaian perkara dilakukan melalui litigasi. Berdasarkan hal tersebut diketahui, istilah“memasukkan secara khusus” ke dalam UUHT, ketentuan tentang eksekusi yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg) sebagaimana dituangkan dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, harus dibaca sebagai“meminjam”. Peminjaman ketentuan Hukum Acara Perdata tentang eksekusi berdasar Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg oleh UUHT diperlukan sehubungan dengan
belum adanya peraturan pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UUHT. Belum adanya peraturan pelaksanaan tersebut mengakibatkan ketentuan tentang eksekusi parat, eksekusi dengan pertolongan hakim dan eksekusi penjualan di bawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUHT belum dapat dilaksanakan.
Istilah meminjam tersebut mengandung makna bahwa eksekusi obyek HT hanya berdasarkan ketentuanPasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Dengan kata lain tidak ada sat pasal pun ketentuan UUHT tentang eksekusi yang berlaku. Selanjutnya istilah “meminjam” mengandung makna sementara, tidak permanen. Makna ini juga terkandung di dalam pemberlakuan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg bagi pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg diberlakukan sampai dengan adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 26 UUHT.
3. Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan
Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (2) dan (3) UUHT.
Prosedur eksekusi penjualan di bawah tangan dapat dilakukan bilamana dipenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3). Persyaratan ini adalah adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dengan kata lain penjualan di bawah tangan dilakukan bilamana diperkirakan bahwa penjualan melalui pelelangan atau penjualan di muka umum melalui eksekusi parat atau eksekusi dengan pertolongan hakim yang dimaksud Pasal 20 (1) a dan b UUHT tidak akan mencapai harga tertinggi. Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/ atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar pada daerah
yang bersangkutan dan/ atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
10.               KETENTUAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN YANG BERLAKU
Berdasarkan hal tersebut di atas diketahui, bahwa UUHT mengatur eksekusi obyek hak tanggungan secara sistematis dan terpadu. Kerangka pikir pembentuk UUHT dalam mengatur eksekusi adalah bertitik tolak pada jenis eksekusi obyek hak tanggungan menurut prosedurnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 UUHT. Di dalam pasal ini diatur ada 3 (jenis) eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu eksekusi parat (eksekusi langsung), eksekusi dengan pertolongan hakim, dan eksekusi penjualan di bawah tangan. Selanjutnya berdasarkan pemikiran terpadu, maka masing-masing ketentuan tentang jenis eksekusi tersebut harus dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam UUHT yang mengatur hal yang sama atau mengatur pelaksanaan lebih lanjut. Eksekusi parat yang diatur dalam Pasal 20 (1) a UUHT harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT. Ketentuan tentang eksekusi dengan pertolongan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 20 (1) b UUHT harus dihubungkan dengan ketentuan dalam penjelasan umum angka 9 dan Pasal 14 serta Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, serta ketentuan tentang eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur dalam Pasal 20 (2) UUHT harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 (3) UUHT.
Menurut pembentuk UUHT, keberlakuan ketentuan tentang eksekusi yang diatur dalam Pasal 20 UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan, suatu peraturan yang mengatur lebih lanjut tentang prosedur eksekusi dari masing-masing jenis eksekusi yang ada. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 26 UUHT yang berbunyi:
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memerhatikan ketentuan Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.
Ketentuan Pasal 26 tersebut dipertegas oleh bunyi Penjelasannya dan Penjelasan Umum Nomor 9. Di dalam penjelasan Pasal 26 UUHT dikatakan:
Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada dalam pasal ini, adalah ketentuan yang ada dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse akta hipotik yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hipotik, dalam hal hak tanggungan adalah sertifikat hak tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi hak tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hipotik hak atas tanah yang disebut di atas.
Sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut,ketentuan Hukum Acara tersebut di atas berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan sertifikat hak hak tanggungan sebagai dasar pelaksanaanya.
Penjelasan Umum angka 9 antara lain menyatakan:
Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan peraturan-peraturan tersebut (Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg-pen.) ditegaskan lebih lanjut dalam undang-undang ini, bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang diatur di dalam kedua reglement tersebut, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.
Dari bunyi ketentuan-ketentuan tersebut diketahui, bahwa ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan yang diatur dalam UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan di sini adalah yang mengatur tentang prosedur atau tata cara eksekusi obyek hak tanggungan.
Beberapa pasal dalam UUHT yang mengatur tentang tiap-tiap jenis eksekusi [Pasal 20 (1) a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT untuk eksekusi parat; Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT untuk eksekusi dengan pertolongan hakim; dan Pasal 20 (2) dan (3) UUHT untuk eksekusi penjualan di bawah tangan] dirasa belum memadai.
Berdasarkan hal tersebut diketahui, bahwa menurut pembentuk UUHT ketiga jenis eksekusi tersebut belum dapat dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Sambil menunggu terbentuknya peraturan pelaksanaan, maka pembentuk UUHT memberlakukan atau “meminjam” ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga dapat mewujudkan ciri hak tanggungan yang kuat yaitu berupa mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.
Sehubungan dengan belum adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 26 UUHT, maka prosedur eksekusi parat dan eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur adalam Pasal 20 (1) a jis. Pasal 11 (2) dan Pasal 6 UUHT, serta eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3) UUHT sampai saat ini belum berlaku.
Persoalan berikutnya adalah, apa bentuk hukum peraturan pelaksanaan ketentuan tentang eksekusi yang dimaksud Pasal 26 UUHT?
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan undang-undang diatur dalam
Pasal 8.b, Pasal 9-13 adalah undang-undang/ peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan peraturan desa/ yang setingkat.
Undang-undang digunakan untuk melaksanakan undang-undang apabila suatu undang-undang dengan tegas memerintahkan diatur lebih lanjut dengan undang-undang (Pasal 8.b UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Hal demikian berlaku pula bagi peraturan presiden (Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Dalam Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditentukan peraturan daerah digunakan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengaturan demikian juga dilakukan untuk peraturan desa/ yang setingkat (Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Penggunaan anak kalimat: “penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” menjadikan peraturan tersebut tidak jelas. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripada peraturan desa dapat berupa peraturan daerah kabupaten/ kota, peraturan daerah prvinsi sampai dengan UUD1945. Apakah hal ini berarti suatu peraturan desa dapat langsung digunakan untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam UUD1945?
Peraturan yang dengan tegas ditentukan untuk mengatur lebih lanjut undang-undang tanpa harus secara tegas ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan, adalah peraturan pemerintah (Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).
Dalam Pasal 26 UUHT tidak ditentukan dengan tegas bentuk peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksaan UUHT tentang eksekusi. Istilah yang dipergunakan Pasal 26 UUHT digunakan istilah “peraturan perundang-undangan yang mengaturnya”.
Dengan demikian menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan satu-satunya bentuk peraturan pelaksanaan UUHT tentang eksekusi adalah peraturan pemerintah.
11.               PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI DALAM PRAKTEK DAN AKIBAT HUKUMNYA
12.               Eksekusi Parat Obyek Hak Tanggungan Berdasarkan Pasal 6 UUHT
Mengenai eksekusi hak tanggungan, dalam praktek sekarang dilakukan melalui eksekusi parat berdasar Pasal 6 UUHT.
Pada umumnya pelelangan berdasar Pasal 6 UUHT ini diumumkan melalui media masa cetak. Dalam hal ini, kreditor bertindak sebagai penjual lelang, yang pelaksanaannya dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Dapat juga pelelangan dilakukan melalui jasa pra lelang oleh Balai Lelang Swasta.
Di bawah ini disajikan contoh pengumuman lelang.
Dalam pengumum melalui media cetak, paling atas adalah simbul dari kreditor bersama dengan simbul KPKNL, serta judul PENGUMUMAN LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN, selanjutnya diikuti dengan dasar hukum dan penyelenggara lelang yang berbunyi:
Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk akan melakukan pelelangan eksekusi hak tanggungan dengan perantaraan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Semarang – melalui jasa pra lelang PT Balai Lelang Tunjungan, terhadap:
-          No. & Nama Debitor
-          Alamat agunan beserta obyek lelang
-          Jaminan
-          Harga limit (Rp)
-          Jaminan (Rp)
Pelelangan tersebut tidak hanya dilaksanakan oleh kreditor bank pemerintah, melainkan juga kreditor-kreditor lainnya.
Pelaksanaan lelang tersebut dirasa tidak tepat, karena menganggap ketentuan Pasal 6 UUHT tentang lelang eksekusi merupakan ketentuan yang berdiri sendiri terlepas dari ketentuan tentang eksekusi lainnya. Ketentuan Pasal 6 UUHT adalah bagian dari eksekusi parat yang ketentuan dasarnya diatur dalam Pasal 20 (1) a UUHT. Dengan kata lain, pandangan KPKNL dan BRI tentang lelang eksekusi merupakan pandangan yang parsial, bukan pandangan terpadu yang memandang ketentuan eksekusi dalam UUHT sebagai suatu sistem yang saling kait-mengait satu sama lain. Selain itu, KPKNL dan BRI juga mengesampingkan ketentuan Pasal 26 UUHT berikut penjelasannya serta Penjelasan Umum angka 9 UUHT, yang dengan tegas-tegas menyatakan bahwa ketentuan UUHT tentang eksekusi obyek HT belum berlaku karena belum ada peraturan pemerintah sebagai pelaksanaannya.
Ketentuan UUHT yang menyatakan peraturan tentang eksekusi belum berlaku karena belum ada peraturan pelaksanaannya, merupakan ketentuan hukum memaksa (dwingen recht), sehingga harus ditaati. Pelanggaran terhadap ketentuan ini terancam sanksi. Sehubungan ketentuan UUHT yang mengatur tentang eksekusi masih belum berlaku, maka penggunaan Pasal 6 UUHT sebagai dasar hukum pelaksanaan lelang eksekusi adalah tidak benar. Pasal 6 UUHT belum berlaku, sehingga belum dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk pelaksanaan eksekusi. Akibat hukum yang
timbul sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT adalah lelang eksekusi tersebut diselenggarakan dengan tanpa dasar hukum, akibatnya pelaksanaan eksekusi tersebut tidak sah.
2. Lelang Properti
Di dalam harian Suara Merdeka, Rabu 24 Maret 2010 pada halaman 2 kolom 5 dimuat pengumuman lelang properti sebagai berikut:
LELANG PROPERTI
Balai Lelang PT TRI AGUNG LUMINTU melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Semarang akan melaksanakan lelang atas:
13.               Tanah dan bangunan SHM No. 3620 LT. 1.765 m2 an. Bank Pembangunan Jawa Tengah terletak di Desa Sukoharjo, Kec. Sukoharjo, Kab. Sukoharjo yang lebih dikenal Jl. Jend. Sudirman No. 29 Sukoharjo
14.               Sebagian dari tanah SHGB No. 41 LT. 10.910 m2 dijual seluas 7.476 m2 an. PT Bank Pembangunan Jawa Tengah terletak di Kel. Gayam Kec. Sukoharjo, Kab. Sukoharjo yang lebih dikenal Jl. Jend. Sudirman No. 80 Sukoharjo
15.               Dua bidang tanah (dijual 1 paket) SHGB No. 840 LT. 1.909 m2, SHGB No 841 LT 8.016 m2 an. Perseroan Terbatas PT Bank Pembangunan Jawa Tengahdisingkat PT BANK BPD JATENG terletak di Kel. Pedurungan Tengah Kec. Pedurungan, Semarang, yang lebih dikenal Jl. Woltermonginsidi Semarang.
Lelang hari/tanggal: Rabu 31 Maret 2010 Jam 10 WIB s/d selesai
Tempat: Hotel Santika Jl. Ahmad Yani Semarang
Syarat dan ketentuan lelang:
16.               Menyetor uang jaminan sebesar Rp 1.500.000.000,- (satu mjilyar lima ratus juta rupiah) untuk poin (1), sebesar Rp 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) untuk poin (2), sebesar Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) untuk poin (3), ke rekening Nomor 1-034-14066.0 atas nama PT Triagung Lumintu pada Bank Jateng Cabang Utama Semarang, sudah berisi aktif 1 (satu) hari sebelum tanggal pelaksanaan lelang.
17.               Properti dijual apa adanya dan peserta lelang dianggap telah mengetahui kondisi lelag asset dan telah mengetahui peruntukan tata wilayah ruang kota setempat.
Simbul Syarat-syarat lainnya dan informasi, hubungi:
Triagung Lumintu Balai Lelang Triagung Lumintu, Telp. (024) 8448667
Berdasarkan bunyi pengumuman lelang tersebut dapat diketahui beberapa hal, yang meliputi jenis lelang, pemilik obyek lelang, penyelenggara lelang dan pelaksana lelang
a.       Pemilik obyek lelang
Di dalam pengumuman tersebut tertera, obyek lelang adalah properti (terdiri dari empat bidang tanah berikut bangunan).
Berdasarkan bunyi pengumuman tersebut diketahui bahwa penjualan lelang tersebut dilakukan terhadap properti “milik” PT Bank Pembangunan Jawa Tengah. Istilah “milik” di sini disimpulkan dari kata “an.” (atas nama) yang dicantumkan di belakang keterangan tentang masing-masing properti, diikuti dengan penyebutan PT Bank Pembangunan Jawa Tengah (atau nama/ istilah lain).
b. Jenis lelang
Istilah jenis lelang di sini digunakan untuk menyebut jenis lelang menurut sifatnya. Berdasar bunyi pengumuman lelang tersebut diketahui bahwa jenis lelang di sini adalah lelang suka rela, bukan lelang eksekusi. Dalam hal ini PT Bank Pembangunan Jawa Tengah menjual secara lelang properti milliknya.
c. Penyelenggara lelang
Penyelenggara lelang adalah PT Triagung Lumintu. Penyelenggara lelang inilah yang mempersiapkan segala sesuatu agar pelaksanaan lelang dapatg berjalan, termasuk melakukan pengumuman lelang, setelah dirinya mendapat permintaan dari PT Bank Pembangunan Jawa Tengah.
d. Pelaksana lelang
Pelaksana lelang adalah pejabat lelang dari Kantor Pelayanan Piutang Negara dan Lelang Semarang. Mereka inilah yang oleh peraturan perundang-udangan diberi wewenang untuk melaksanakan lelang.
Berdasarkan bunyi teks dalam pengumuman lelang tersebut diketahui bahwa penjualan lelang properti milik PT Bank Pembangunan Jawa Tengah melalui KPKNL adalah sah dan tidak ada masalah.
Namun apabila dicermati, maka terdapat persoalan mendasar yang dapat memengaruhi keabsahan penjualan lelang berdasar pengumuman tersebut.
Persoalan mendasar ini adalah tentang keabsahan lelang. Jawaban atas pertanyaan tersebut harus dirunut pada kepemilikan obyek lelang, yang menimbulkan beberapa pertanyaan benarkah obyek lelang tersebut milik PT Bank Pembangunan Jawa Tengah? Dari manakah asal usul kepemilikan tersebut? Siapakah yang harus dipertanggungjawabkan terhadap akibat hukum yang muncul apabila lelang tersebut tidak sah?
Jawaban atas pertanyaan tentang keabsahan lelang ada beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama
Perihal properti obyek lelang adalah milik asli PT Bank Pembangunan Jawa Tengah patut diragukan. Hal ini disebabkan pada pertimbangan bahwa status milik asli berarti properti tersebut merupakan aset dari PT Bank Pembangunan Jawa Tengah Pada umumnya penjualan aset perusahaan berhubungan dengan masalah keuangan yang menimpa perusahaan yang bersangkutan. Padahal selama ini tidak pernah terbetik kabar PT Bank Pembangunan Jawa Tengah mengalami masalah keuangan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sebenarnya properti tersebut bukan milik asli atau aset PT Bank Pembangunan Jawa Tengah
Sebagai salah satu bentuk bank yaitu bank daerah, PT Bank Pembangunan Jawa Tengah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Penyaluran dana kepada masyarakat yang paling banyak adalah dalam bentuk pemberian kredit. Sesuai dengan prinsip kehati-hatian, maka pemberian kredit selalu disertai dengan agunan. Jenis agunan yang paling disenangi di dalam praktek adalah tanah dan/ atau bangunan, karena harganya yang makin meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diduga kuat, bahwa properti obyek lelang adalah berasal dari agunan atas kredit yang disalurkan oleh PT Bank Pembangunan Jawa Tengah
Persoalan yang perlu dijawab berikutnya adalah apakah sah kepemilikan PT Bank Pembangunan Jawa Tengah atas properti obyek lelang? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mengetahui prosedur peroleh hak atas properti obyek lelang oleh PT Bank Pembangunan Jawa Tengah. Perolehan hak atas tanah dapat melalui berbagai perjanjian, misalnya jual beli, tukar menukar dan sebagainya. Perolehan melalui jual beli atau tukar menukar terhadap properti tersebut tidak mungkin terjadi, karena keberadaan PT Bank Pembangunan Jawa Tengah bukan untuk melakukan pengadaan atau jual beli properti. Kemungkinan yang paling mendekati kenyataan adalah properti tersebut berasal dari agunan debitor yang mengalami kesulitan dalam pengembalian/ pelunasan kredit. Selanjutnya di sini terjadi perpindahan kepemilikan atas obyek agunan dari pemberi agunan ke PT Bank Pembangunan Jawa Tengah sebagai penerima agungan. Untuk terjadinya perpindahan hak, diperlukan titel atau dasar hukum. Apabila dasar hukum
yang dipergunakan untuk terjadinya perpindahan hak adalah kalusula perjanjian yang bunyinya: “kreditor menjadi pemilik obyek jaminan bila debitor wanprestasi”maka janji demikian adalah batal demmi hukum. Hal ini dilarang oleh Pasal 12 UUHT.
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa lelang properti tersebut adalah tidak sah, karena dasar hukum peralihan hak atas properti obyek lelang dari pemberi hak tanggungan kepada PT Bank Pembangunan Jawa Tengah adalah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku (dilarang oleh Pasal 12 UUHT).
Kemungkinan kedua
Kemungkinan kedua ini terjadi bilamana terjadi perbedaan antara isi pengumuman dengan hal yang sebenarnya.
Tentang isi pengumuman sebagaimana tersebut di atas, dituliskan bahwa akan diadakan “lelang properti milik PT Bank Pembangunan Jawa Tengah”, sedangkan hal yang sebenarnya adalah lelang obyek hak tanggungan atas nama pemberi hak tanggungan. Dengan kata lain, di dalam pengumuman disebutkan diadakan lelang properti atas nama PT Bank Pembangunan Jawa Tengah, namun hal yang sebenarnya lelang eksekusi atas nama pemberi hak tanggungan. Dalam keadaan demikian, maka penjualan melalui lelang properti tersebut mengandung risiko tentang keabsahannya. Dalam hal lelang properti obyek hak tanggungan dilaksanakan karena debitor wanprestasi, maka prosedur penjualannya yang benar adalah harus melalui lelang eksekusi. Prosedur lelang eksekusi diawali dengan dua kali pengumuman lelang eksekusi, dilanjutkan dengan pelaksanaan penjualan melalui cara lelang oleh pejabat lelang.
Sehubungan dengan lelang properti obyek hak tanggungan tersebut tidak menggunakan prosedur lelang eksekusi, maka lelang tersebut adalah tidak sah.
Dalam pengumuman tentang lelang properti tersebut pada bagian bawah dicantumkan kata-kata:
“Syarat-syarat lainnya dan informasi, hubungi: Balai Lelang Triagung Lumintu, Telp. (024) 8448667”
Sehubungan dengan hal tersebut, jika peminat lelang menghubungi alamat yang bersangkutan dan diberi informasi yang benar tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan lelang tersebut, maka kemudian muncul pertanyaan “apakah informasi yang benar ini dapat menjadikan sah penjualan lelang properti tersebut?
Informasi yang benar tentang segala sesuatu yang terkait dengan penjualan lelang properti tidak dapat mengubah status tidak sah dari penjualan properti obyek hak tanggungan. Hal ini dikarenakan pada penjualan lelang properti tersebut tidak melalui tahap prosedur lelang eksekusi yang berupa pengumuman lelang eksekusi.
Kemungkinan ketiga
Kemungkinan ketiga berupa, obyek lelang properti adalah obyek hak tanggungan, namun disertai akte yang berisi pernyataan dari debitor/ pemberi hak tanggungan bahwa debitor/ pemberi hak tanggungan menyerahkan obyek hak tanggungan untuk dijual secara lelang oleh kreditor yang hasilnya dipergunakian untuk melunasi segala kewajiban debitor (pembayaran biaya, pelunasan utang dan kewajiban-kewajiban yang sah lainnya), dan apabila masih ada sisanya maka harus diserahkan kepada debitor/ pemberi hak tanggungan.
Cara penjualan demikian bukan eksekusi. Penjualan ini ditempuh sehubungan dengan debitor mengalami kesulitan di dalam melunasi utangnya. Sehubungan dengan itu, maka cara terbaik yang dapat ditempuh debitor/ pemberi hak tanggungan adalah menjual obyek hak tanggungan yang hasilnya dipergunakan untuk memenuhi seluruh kewajiban debitor. Di dalam negosiasi tentang hal ini, debitor/ pemberi hak tanggungan dapat minta kepada kreditor supaya dalam waktu tertentu diberi kesempatan untuk lebih dulu mencari pembeli. Apabila tenggang waktu habis dan debitor belum berhasil mendapatkan pembeli, maka kreditor dapat menjual obyek hal tanggungan melalui lelang.
Apabila kemungkinan ketiga ini yang terjadi, maka penjualan lelang properti oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah adalah sah.
18.               Upaya Hukum yang dapat diajukan oleh Debitor/ Pemberi Hak Tanggungan
Berikut ini disajikan upaya hukum yang dapat diajukan untuk memertahankan hak terhadap tindakan penjualan lelang eksekusi hak tanggungan yang dilaksanakan secara tidak sah.
Jenis upaya hukum yang dapat diajukan dapat dibedakan berdasarkan waktu pangajuannya.
Apabila upaya hukum tersebut diajukan pada saat prosedur eksekusi masih berjalan, maka upaya hukum yang dapat diajukan adalah verzet melawan eksekusi. Verzet melawan eksekusi ini dapat diajukan oleh debitor/ pemberi hak tanggungan, yang dinamakan verzet oleh pihak yang bersangkutan, atau diajukan oleh pihak ketiga yang disebut verzet oleh pihak ketiga atau derden verzet.
Selanjutnya upaya hukum tersebut juga dapat diajukan setelah lelang eksekusi terjadi (setelah seluruh prosedur eksekusi berakhir). Jenis upaya hukum yang dapat diajukan dalam hal ini adalah gugat perlawanan.[7]
6.    Penanggungan Utang:
Pengertian dan Sifat Penanggungan Utang
Perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Yang diartikan dengan penanggungan adalah:
“Suatu perjanjian, di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya” (Pasal 1820 KUH Perdata).
Apabila diperhatikan definisi tersebut, maka jelaslah bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur di sini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau orang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang mendapat pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi prestasinya.
Alasan adanya perjanjian penanggungan ini antara lain karena si penanggung mempunyai persamaan kepentingan ekonomi dalam usaha dari peminjam (ada hubungan kepentingan antara penjamin dan peminjam), misalnya si penjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang seham terbanyak dari perusahaan tersebut secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan tersebut dan kedua perusahaan induk ikut menjamin hutang perusahaan cabang.
Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accesoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dengan kreditur.
2. Akibat-akibat Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib membayar utang debitur kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar utang debitur tersebut, maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya (Pasal 1831 KUH Pedata).
Penanggungan tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya jika:
a.Ia (penanggung utang) telah melepasakan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
b.Ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama secara tanggung menanggung; dalam hal itu akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas utang-utang tanggung menanggung;
c.Debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
d.Debitur dalam keadaan pailit; dan
e.Dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim (Pasal 1832 KUH Perdata).

3.Akibat-akibat Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan antara Para Penanggung
Hubungan hokum antara penanggung dengan debitur utama adalah erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran hutang debitur kepada kreditur. Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Di samping penanggungan utang juga berhak untuk menuntut:
a.Pokok dan bunga;
b.Pengantian biaya, kerugian, dan bunga.
Di samping itu, penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan, bahkan sebelum ia membayar utangnya:
a.Bila ia digugat di muka hakim untuk membayar;
b.Bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada suatu waktu tertentu;
c.Bila utangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannya;
d.Setelah lewat sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan pokok sedemikian sifatnya, sehingga tidak dapat diakhir sebelum lewat waktu tertentu.
Hubungan antara para penanggung dengan debitur disajikan berikut ini. Jika berbagai orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang debitur dan untuk utang yang sama, maka penanggung yang melunasi hutangnya berhak untuk menuntut kepada penanggung yang lainnya, masing-masing untuk bagiannya.

4. Hapusnya Penanggungan Utang
Hapusnya penanggungan utang diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1845 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya. Pasal ini menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437, Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal 1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi; pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.[8]
7.    Prosedur dan Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan:
Menurut Pasal 13 UUHT, pamberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan dapat ditemukan rumusannya dalam pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 13 :
1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanhaan.
3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah atas tanah yang menjai objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4) Tanggak buku tanah Hak Tanggunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.
5) Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

  Dari rumusan masalah pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan lahir pada saat pendaftaran Hak Tanggungan pada buku Tanah hak atas tanah yang dibebankan dengan hak tanah.
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri agraria no. 3 tahun 1997
Sehubungan dengan pendaftaran Hak Tanggungan atas tanah ini, yang merupakan salah satu bentuk pandaftaran tanah ini, perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, system pendaftaran tanah yang dibelakukan adalah registration of dead, dengan registration of dead dimaksudkan bahwa yang didaftarkan adalah akta yang memuat perbuatan hukun yang melahirkan hak atas tanah, termasuk di dalamnya eigendom Hak Milik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Perdata.
Untuk memberikan kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Dengan pencamtuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan maka untuk itu dapat dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan 258 Rbg. Setelah sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat, kemudian sertifikat Hak Tanggungan tersebut diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.
System pendaftaran tanah yang demikian jelas menyulitkan, dan memakan waktu yang lama dan banyak manakala seseorang bermaksud unutk mencari tahu Hak Milik atas benda tidak bergerak, termasuk ada tidaknya beban-beban yang diletakkan di atasnya.
Untuk keperluan tersebut, maka Robert Richard Torrens menciptakan suatu system pendaftaran tanah, yang selanjutnya disebut dengan registration of titles, atau system Torrens. Dalam system registration of titles ini, setiap penciptaan hak baru, peralihan hak, termasuk pembebanannya harus dapat dibuktikan dengan suatu akta. Akan tetapi akta tersebut tidaklah didaftar, melainkan haknya yang dilahirkan dari akta tersebut yang didaftarkan. Dengan demikian berarti akta hanyalah dipergunakan sebagai sumber data untuk memperoleh kejelasan mengeani terjadinya suatu hak, peralihan hak atau pembebanan hak. Setiap orang yang memerlukan data yuridis yang lengkap akta suatu hak atas tanah, tidak perlu lagi untuk mempelajari seluruh akta yang berhubungan dengan hak atas tanah tersebut, melainkan cukup bisa dipelajari urutan pemberian hak, perubahan pemegang hak, dan pembebanan yang dicatat dalam system yang dianut Undan-Undang Pokok Agraria, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 19997 tentang Pendaftaran Tanah yang menggantikan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tersebut. Demikianlah rumusan ketentuan pasal 19 Undang-Udang Pokok Agraria yang terdapat dan jelas pada pasal 19.
Dengan demikian berarti system pendaftaran tanah dibedakan ke dalam:
a. Registration of dead, yang dilakukan dalam bentuk pendaftaran aktanya, yang berisikan perbuatan hukum yang menerbitkan hak atas tanah atau pembebanannya. Setiap kali terjadi perubahan, yang merupakan bukti satu-satunya dari terjadinya perubahan tersebut. Cacat dalam salah satu prosese peralihan atau pembebanan, akan mengakibatkan akta-akta yang dibuat setelah menjadi tidak berkekuatan hukum sama sekali. Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah positif.
b. Registration of title, yang mendaftarkan title hak yang diperoleh. Akta yang dibuat untuk menciptakan hak atau pembebanannya hanya dipergunakan unttuk menciptakan hak atau pembebanannya hanya dipergunakan sebagai rujukan pendaftaran hak  nya tersebut. Sehubungan dengan registration of title ini, dalam system Torrens Sertifikat Hak Atas tanah yang dikluarkan merupakan alat bukti sempurna bagi adanya hak atas tanah, perubahan atau adanya pembebanana hak atas tanah tersebut, serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapa juga kecuali jika terbukti telah terjadi pemalsuan. Ini berarti dianut stelsel positif. Selain stelse positifl dianut dalam registrartion of title ini, juga dikenal stelsel negative. Jika dalam stelsel positif, pemegang Sertifikat Hak Atas  Tanah dilindungi, dalam stelsel negative, masih dimungkinkan proses pembuktian lain, selain dengan sertifikat hak atas tanah.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, secara umum dapat dikatakn bahwa pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk memberikan alat bukti yang kuat. Hal ini menunjukkan pada kita semua bahwa dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang dianut dalam system pendaftaran yang dengan registration of title stelsel negative yang mengandung unsur positif.
ANALISIS :
Hak Tanggungan lahir pada saat pendaftaran Hak Tanggungan pada buku Tanah hak atas tanah yang dibebankan dengan hak tanah. Termasuk juga tanah yang berstatus hak milik (eigendom). Dengan dibuatnya buku tanah tersebut, Hak Tanggungan lahir dan kreditur menjadi kreditur pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan mendahului dari kreditur-kreditur lain. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997. Dapat dikatakan juga bahwa pendaftaran tanah hak tangungan ini perlu dilakukan agar memudahkan dalam administrasi kepemilikan tanah,dan dapat diketahui siapa pemilik atau sejarah dari tanah tersebut[9]
8.      HAK TANGGUNGAN SEBAGAI SYARAT DALAM FASILITAS PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH:
pada dasarnya, seluruh harta benda orang yang berutang adalah merupakan jaminan atas pelunasan utang orang tersebut, hal ini ditegaskan dalam pasal 1131 dan pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) .
Pasal 1131 KUHPer ;
“Segala Kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”
Pasal 1132 KUHPer ;
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”
Artikel singkat ini akan menjelaskan mengenai Hak Tanggungan. Hak Tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dengan tanah tersebut. Hak Tanggungan ini memberikan/mempunyai hak “Preference” kepada kreditur tersebut dalam hal ini adalah Bank. Artinya Bank mempunyai keutamaan untuk mengeksekusi jaminan tersebut terlebih dahulu dari pada kreditur lainnya, jika suatu saat debitur cidera janji/Wanprestasi.
Misalkan, seseorang menerima fasilitas pembiayaan dari Bank Sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian agar Bank merasa yakin bahwa orang tersebut akan melunasi fasilitas pembiayaan yang diterimanya tersebut, maka Bank menerima jaminan berupa rumah yang didirikan diatas tanah Hak Milik atas nama debitur sendiri. Kemudian berlanjut untuk proses penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, yang kemudian pengesahan itu akan tercantum pula di dalam sertifikat Asli milik debitur. Dan selanjutnya sertifikat Asli itu akan disimpan oleh Bank.
Dengan demikan, apabila satu dan lain hal terjadi dikemudian hari atas pembiayaan debitur sehingga tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk mengangsur atau menjadi kredit macet, Bank akan melakukan penjualan secara lelang atas tanah dan bangunan dimaksud serta mengambil sebagian pelunasan atas sisa utang debitur yang masih ada pada Bank. Jika didapati masih bersisa, kemudian sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada debitur sebagai pemilik sertifikat. Dengan dibebaninya rumah dan tanah debitur oleh jaminan yaitu berupa Hak Tanggungan, walaupun masih bisa menempati rumah dan tanah tersebut debitur tidak sendirian lagi dalam memiliki rumah dan tanah tersebut, tetapi bersama-sama dengan Bank.
Artinya jika suatu saat debitur akan menyewakan tanah tersebut, mengubah struktur bangunan yang pada intinya mengurangi nilai rumah tersebut, atau terlebih hendak akan menjual rumah dan tanah tersebut, maka harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Bank.[10]



[1] http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-hak-tanggungan.html
[2] http://jawara-agotax.blogspot.com/2013/12/makalah-hak-tanggungan_22.html
[3] http://sobatbaru.blogspot.com/2011/09/ciri-ciri-dan-sifat-hak-tanggungan.html
[4] http://sithaayu1.wordpress.com/2012/12/05/asas-asas-hak-tanggungan/
[5] http://zfadly.blogspot.com
[6] http://www.hukumproperti.com
[7] http://pustakabakul.blogspot.com/
[8] http://hkjaminanlinajamilah.blogspot.com/
[9] http://uthsamosir-law.blogspot.com
[10] http://arthamadani.co.id/?p=241

Tidak ada komentar:

Posting Komentar