PENGERTIAN HAK
TANGGUNGAN
oleh : hamzah aenurofi
A.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai
induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :
“Hak
Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan
undang-undang”.
Selanjutnya
ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah:
“Hak
Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
Dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu
kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang pengaturannya selama
ini menggunakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dalam Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata). Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya
adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada
kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil
karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan
jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional
didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang
menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak
dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Penerapan asas tersebut tidak
mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan
kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT
memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda
diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah
bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Menurut Purwahid Patrik, dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak
Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung
ciri-ciri :
Ø
Memberikan
kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de
preference), hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1);
Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak
tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui
pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditor yang lain.
Ø
Selalu
mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit
de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7; Sifat ini merupakan salah satu
jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak
Tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditor masih
tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera
janji (wanprestasi).
Ø
Mudah
dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila
debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor tidak perlu menempuh acara
gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kreditor
pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak
tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan
Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate
executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg bahkan dalam
hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.
Hak Tanggungan membebani secara
utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya
sebagian dari hutang yang dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya
sebagian obyek hak tanggungan beban hak tanggungan, melainkan hak tanggungan
tersebut tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang
belum terlunasi. Dengan demikian, pelunasan sebagian hutang debitor tidak
menyebabkan terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan. Menurut ketentuan Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa hak tanggungan bersifat
tidak dapat dibagibagi (ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini
dapat disimpangi asalkan hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Sehingga, hak tanggungan hanya membebani
sisa dari obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi
asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang
terdiri dari beberapa bagian yang masingmasing merupakan suatu kesatuan yang
berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.[1]
B.
Undang-undang
hak tanggungan memberikan pengertian sebagai berikut “ Hak tanggungan adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agrarian berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan utang tertentu yang memberkan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya “
Dari pengertian diatas maka dapat
diuraikan unsure-unur pokok dari hak tanggungan diantaranya :
1.
Hak
tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang
2.
Utang
yang di jaminkan jumlahnya tertentu
3.
Objek
hak tanggungan adalah ahak-ahak atas tanah sesuai dengan undang-undang pokok
agrarian yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak usaha dan hak pakai
4.
Hak
tanggungan dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah atau hanya tanahnya saja
Hak tanggungan memberikan hak
prefen atau hak diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain[2]
C. melaksanakan kewajibannya. Sedangkan istilah agunan
diartikan sebagai barang/benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang
nasabah debitur. Dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28
februari 1991, pengertian jaminan yaitu: "suatu keyakinan kreditur bank
atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan". Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23
UU No. 10 Tahun 1998, yaitu: "jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam
rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia".
Dalam Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan No.10 tahun
1998, terdapat 2 (dua) jenis agunan, yaitu: agunan pokok dan agunan tambahan.
Agunan pokok adalah barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung
dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti
barang-barang atau proyek-proyek yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan.
Sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak
berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan,
yang ditambah dengan agunan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari
jaminan (menurut Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998), yaitu:
1. merupakan jaminan tambahan.
2. diserahkan oleh nasabah debitur kepada
bank/kreditur.
3. untuk mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syari'ah.
Kegunaan dari jaminan, diantaranya adalah memberikan
hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan,
apabila debitur melakukan cidera janji, menjamin agar debitur berperan serta
dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk
meninggalkan usahanya/proyeknya, dengan merugikan diri sendiri, dapat dicegah.
kemudian memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, misalnya
dalam pembayaran angsuran pokok kredit tiap bulannya. [3]
D. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain[4]
E. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa Hak
Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang PokokAgraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Beranjak dari definisi di atas, dapat ditarik unsur
pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut.
- Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
- Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
- Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
- Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.
- Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai definisi
Hak Tanggungan tersebut, pada kesempatan ini akan diuraikan definisi mengenai
hipotek sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata. Dalam Pasal 1162
KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa: Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas
benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi
pelunasan suatu perikatan.
Dengan berpatokan pada definisi tersebut, unsur pokok
yang terkandung di dalamnya adalah
- hipotek adalah suatu hak kebendaan;
- objek hipotek adalah benda-benda tak bergerak;
- untuk pelunasan suatu perikatan.[5]
F. Suatu hak kebendaan (zakelijk
recht) ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu
benda, yang dapat dipertahankan teradap tiap orang. Ilmu hukum dan
perundang-undangan, telah lama membagi segala hak-hak kebendaan dan hak-hak
perseorangan. Suatu hak kebendaan, memberikan kekuasaan atas suatu benda,
sedangkan suatu hak perseorangan (persoonlijkrecht) memberikan suatu
tuntutan atau penagihan terhadap seseorang. Suatu hak kebendaan dapat
dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak
perseorangan hanyalah dapat dipertahakan terhadap sementara orang
tertentu saja atau terhadap sesuatu pihak.[6]
G.
Hak
Tanggungan adalah suatu istilah baru dalam Hukum Jaminan
yang diintrodusir oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), yang sebelumnya belum
dikenal sama sekali, baik dalam
Hukum Adat maupun dalam KUH
Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA
ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat
dibebankan kepada Hak Milik, Hak
Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA
tersebut, pada Tanggal 9 April
1996 telah diundangkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah (UUHT). Dalam Pasal 29
UUHT ditentukan bahwa dengan
berlakunya UUHT, ketentuan mengenai
Credietverband dan ketentuan
mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut
dalam Buku II KUH Perdata
sepanjang mengenai pembebanan Hak
Tanggungan pada hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah dinyatakan tidak
berlaku lagi. Jadi dengan diundangkannya
UUHT tersebut maka Hak Tanggungan
merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah
Nasional yang tertulis.
Saya boleh tanya kepada bapa hamzah mengenai hukum waris... ?
BalasHapus